Temani Aku Ed, Sepekan Saja
Ed meletakkan map berwarna merah di atas meja. Wajahnya tampak lelah. Ingin sekali aku menawarkan segelas air minum, tapi tak kulakukan, aku tahu, ia pasti akan menolaknya.
“Bersiap-siaplah, Mer. Semua berkas sudah rampung. Kau tinggal menandatanganinya.” Ia berkata datar. Aku mengangguk, pasrah.
“Tolong permudah semuanya, ya, Mer. Jangan berbelit-belit saat di persidangan nanti.”
Kembali aku mengangguk. Ya, mengangguk, hanya itu yang bisa aku lakukan.
Aku menatap Ed sekilas. Sepotong hati tiba-tiba saja terasa begitu perih.
Tapi apa yang bisa kulakukan selain pasrah? Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Ed sudah tidak mencintaiku lagi. Ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia lebih memilih Anya, perempuan muda yang diam-diam telah dinikahinya.
“Ed, sebelum persidangan nanti, maukah kau menemaniku? Maksudku…” aku tersenyum rikuh.
“Kau ingin aku di sini?” Ed menautkan kedua alisnya.
“Iya, Ed. Satu pekan saja. Aku akan meminta izin Anya. Pasti ia mau mengerti.”
Ed menatapku ragu.
“Kita tidak akan melakukan sesuatu yang…”
“Tentu saja tidak, Ed. Percayalah!” Kipp
“Bersiap-siaplah, Mer. Semua berkas sudah rampung. Kau tinggal menandatanganinya.” Ia berkata datar. Aku mengangguk, pasrah.
“Tolong permudah semuanya, ya, Mer. Jangan berbelit-belit saat di persidangan nanti.”
Kembali aku mengangguk. Ya, mengangguk, hanya itu yang bisa aku lakukan.
Aku menatap Ed sekilas. Sepotong hati tiba-tiba saja terasa begitu perih.
Tapi apa yang bisa kulakukan selain pasrah? Bukankah cinta tidak bisa dipaksakan? Ed sudah tidak mencintaiku lagi. Ia memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Ia lebih memilih Anya, perempuan muda yang diam-diam telah dinikahinya.
“Ed, sebelum persidangan nanti, maukah kau menemaniku? Maksudku…” aku tersenyum rikuh.
“Kau ingin aku di sini?” Ed menautkan kedua alisnya.
“Iya, Ed. Satu pekan saja. Aku akan meminta izin Anya. Pasti ia mau mengerti.”
Ed menatapku ragu.
“Kita tidak akan melakukan sesuatu yang…”
“Tentu saja tidak, Ed. Percayalah!” Kipp
Hari pertama bersama Ed
Seperti biasa, aku bangun pagi-pagi sekali. Membersihkan rumah, menyiapkan sarapan, lalu membangunkan Ed yang tidur di kamar tamu.
Meski tidak menolak sarapan yang kutawarkan, wajah Ed masih belum berubah. Ia terlihat murung.
“Aku sudah menelpon Anya, Ed,” ujarku renyah. Ed tidak menyahut. Ditiupnya perlahan teh panas di hadapannya.
“Kau mau mandi, dulu, Ed? semua sudah kusiapkan.”
Tidak usah serepot itu, Mer,” Ed akhirnya bersuara.
“Tidak Ed. Aku senang melakukannya untukmu,” sahutku. Ed hanya mengangkat bahu. Pandangannya masih tertuju pada gelas minum di atas meja.
Lima menit kemudian ia beranjak menuju kamar mandi. Aku mentap punggungnya yang kekar menghilang di balik pintu.
Usai mandi aku menghampirinya dan menawarkan diri membantunya memasangkan dasi.
“Tidak usah, Mer. Aku bisa memasangnya sendiri.”
“Sekali ini saja, Ed,” aku memaksa. Ed akhirnya menyerah.
“Makan malam nanti usahakan di rumah, ya, Ed. Aku menunggumu,” bisikku sembari berhati-hati mengikat dasi yang melilit di lehernya.
Ed mengangguk samar.
Sedetik pandangannya tertuju padaku.
Hari kedua
Ed bangun lebih pagi daripada aku. Tentu saja hal itu membuatku sedikit malu.
“Maafkan aku, Ed. Aku kesiangan.”
“Apa sebaiknya aku pulang, Mer? Mungkin kau lelah karena kehadiranku. Lagi pula Anya…”
“Jangan Ed! Jangan pulang dulu.” Aku mencegahnya. Ed menghela napas panjang.
Aku bergegas menuju dapur menyiapkan sarapan pagi untuknya.
Sebentar kemudian sepiring nasi goreng berhias telur mata sapi kesukaannya sudah terhidang di atas meja.
Dan aku senang melihat Ed melahap habis sarapannya hingga tak bersisa.
Hari ketiga
Entah mengapa pagi itu badanku terasa begitu lunglai. Pandanganku kabur. Kepala berdenyut-denyut. Sakit sekali. Serasa mau pecah.
Meski begitu aku memaksakan diri untuk bangun. Agak sempoyongan aku berjalan keluar kamar.
Kulihat Ed sudah berada di ruang makan.
“Selamat pagi Mer. Bagaimana keadaanmu?” ia menghampiriku seraya menyodorkan segelas teh panas.
“Aku baik-baik saja, Ed. Trims, untuk teh panasnya.”
Ed terdiam. Tangan kekarnya terulur membuka tudung saji.
“Aku hanya menemukan ini, Mer.” Kembali ia menyodorkan sesuatu di hadapanku.
Dua iris roti tawar sudah beroleskan selai buah.
Pagi itu kami sarapan bersama tanpa bicara.
Hari keempat
Aku benar-benar tidak bisa menggerakkan tubuhku. Tulang belulangku terasa kaku.
Kulihat Ed membuka pintu kamar dan melongokkan wajahnya. Ia sudah berpakaian rapi.
“Dokter sebentar lagi datang, Mer. Aku sudah menghubunginya. Oh, ya, kau tak perlu repot-repot menyiapkan sarapan. Aku sudah membuatnya sendiri. Kau istirahat sajalah.”
“Trims, Ed. Hati-hati di jalan.”
Aku mengangkat tanganku.
Untuk pertama kalinya kulihat Ed menyungging senyum.
Hari kelima
Ed menungguiku di sisi ranjang. Wajahnya tampak gelisah.
“Aku baik-baik saja, Ed. Dokter sudah memeriksa dan memberiku obat.” Aku tersenyum untuk menenangkannya.
“Tapi wajahmu pucat sekali, Mer. Apa sebaiknya kita ke Rumah Sakit?”
Aku menggeleng. Kupejamkan mata sebentar. Hanya sebentar. Saat kubuka mataku kembali, kulihat Ed tengah menatapku.
“Ed, apakah kau tidak keberatan membantu aku bangun? Bukankah ini musim semi? Aku ingin menikmati bunga-bunga yang sedang bermekaran.”
Ed mengangguk. Ia merangkulku. Kemudian memapahku. Membawaku perlahan menuju bingkai jendela yang daunnya terbiarkan terbuka.
Hari keenam
Ed menyuapiku.
“Habiskan buburnya, ya, Mer. Kau harus sembuh.”
“Aku pasti sembuh, Ed. Oh, ya, dua hari lagi sidang perceraian kita, bukan?” aku menatap mata Ed. Ia tak menyahut.
Entah apa yang tengah dipikirkannya.
Hari ketujuh
Ed menangisiku.
“Mer, inikah yang kau inginkan dariku?”
Ingin sekali aku menghapus air mata Ed. Tapi bidadari-bidadari bersayap itu sudah menjemputku.
Aku harus pergi meninggalkan Ed. Juga map berwarna merah yang sejak sepekan lalu tergeletak tak tersentuh.
Malang, 2017
Dari Kumcer: Perempuan Oh Perempuan by Lilik Fatimah Azzahra
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021