[Puisi] Mencintai Ibu
Saya merasa baru saja belajar mencintai Ibu. Dengan memetikkannya bunga-bunga perdu dan merangkaikannya ke dalam vas yang tepinya retak seperti baru digigiti oleh anak kucing. Saya kira itu sudah cukup. Ibu sebenarnya tidak butuh cinta dari saya. Karena Ibu sendiri memiliki segudang cinta yang tidak pernah akan habis dimakan oleh seribu gerhana.
Saya merasa sudah mencintai Ibu. Ketika kutu-kutu di kepalanya tertawa mengejek dan menantang saya bermain petak umpet. Saya senang akhirnya Ibu bisa tidur nyenyak begitu kutu-kutu itu saya semprot dengan racun serangga. Rambut Ibu rontok beberapa helai.
Tapi tak masalah. Ibu sudah tidak butuh rambut-rambut lagi. Sebab kepala Ibu mengaku sudah lelah, ingin istirahat sejenak, katanya.
Saya merasa sudah sangat mencintai Ibu. Dengan membacakannya dongeng-dongeng pengantar sebelum tidur. Tapi dongeng-dongeng itu berlompatan berebut memukuli kepala saya. Menampar pipi saya berkali-kali membuat saya kesakitan dan berteriak, “Ibu! Tolong saya!”
Tapi Ibu tidak mau mendengarkan saya. Ibu tertidur pulas ditemani lingsa yang bergelayut di sedikit helai rambutnya. Sepertinya Ibu sedang menikmati mimpi bertemu anak perempuannya yang lama hilang disembunyikan kesibukan dan baru beberapa jam lalu pulang.
Tiba-tiba saja saya merasa sama sekali belum mencintai Ibu. Ketika Ibu diam-diam pergi meninggalkan saya, selamanya.
***
Malang, 22 Mei 2019
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021