Apakah Bapak dan Ibu Kita Sudah Berubah Menjadi Tikus?
Kami—aku dan Rash saling melempar pandang. Kemudian berdiri berjinjit mengintip dua manusia dewasa yang sedang bertengkar hebat di ruang tamu. Rash yang tubuhnya lebih kecil dariku, sesekali menarik-narik kemejaku seraya berbisik, “Apakah Bapak dan Ibu kita sudah berubah?”
Aku menggeleng. “Belum. Masih seperti kemarin. Mereka masih manusia primitif, masih saling mempertahankan ego.”
“Wah, padahal aku sudah tidak sabar ingin melihat Bapak dan Ibu berubah menjadi tikus,” Rash berdecak kecewa.
“Harus sabar. Kau pikir menjadi seekor tikus itu mudah?” aku merangkul pundak adikku.
“Butuh waktu berapa lama?” Rash menatapku. Tak berkedip.
“Tergantung. Kalau mereka sudah menunjukkan ciri-ciri yang dimiliki oleh seekor tikus, barulah,” aku membisikinya.
“Oh, apakah salah satu cirinya tumbuh ekor di sini?” Rash menarik bagian belakang celanaku. Aku mengangguk. Lalu kami tertawa berderai. Dan kaki kurus kami kembali berjinjit untuk menyaksikan dua orang dewasa yang masih belum juga berhenti saling memaki.
Lebih dari satu jam kami mengintip dari balik jendela yang tirainya tersingkap sedikit. Kami melihat Bapak mulai bosan memaki-maki Ibu. Dan Ibu juga tampak mulai lelah membalas caci maki Bapak. Pertengkaran pun diakhiri dengan tangan Bapak menggebrak meja. Sesudahnya kami melihat Bapak keluar rumah dengan langkah tergesa. Dan Ibu melepas kepergian Bapak dengan mata basah.
“Ibu menangis,” Rash menoleh ke arahku.
“Kukira Ibu yang paling sulit bertransformasi menjadi tikus. Ibu masih suka menangis. Kan tikus tidak pernah menangis,” aku menyahut seraya menutup kembali tirai jendela. Rash diam tercenung.
“Spesies tikus tidak memiliki kantung air mata. Kalau sedih, biasanya mereka melampiaskannya dengan menggerogoti benda-benda yang ada di sekitarnya. Menggigiti celana pendek kotor, misalnya,” aku melanjutkan.
“Oh, aku baru tahu! Jadi celanaku bolong gara-gara tikus yang sedang sedih, ya. Tadinya aku sempat kesal karena celana yang bolong itu adalah celana favoritku. Tapi kukira sekarang tidak lagi. Tikus kan juga butuh hiburan,” Rash tersenyum.
Pembicaraan terhenti. Ibu masuk ke dalam kamar kami.
“Kenapa kalian belum mandi? Ini sudah sore,” tangan Ibu menyentuh kepala kami, bergantian.
Aroma kesedihan terendus melalui jemari tangannya yang dingin.
***
Sejak sore itu, sejak mereka bertengkar hebat di ruang tamu, kami tidak lagi melihat kemunculan Bapak di rumah. Kata Ibu, Bapak tidak pulang karena sudah memiliki tempat tinggal baru.
“Oh, kukira Bapak kita sudah berubah menjadi tikus!” Rash berseru takjub.
“Kau yakin?” aku mengernyit alis.
“Yakin. Kan tikus suka berpindah-pindah tempat, mencari hal-hal baru,” Rash menelengkan kepalanya sedikit. Aku mengangguk. Membenarkan ucapan Rash.
“Lalu kenapa Ibu tidak menyusul Bapak?” kali ini Rash menatapku dengan mata berkejap-kejap.
“Mungkin Ibu belum siap menjadi seekor tikus,” jawabku serius. Aku berpikir begitu sebab aku masih sering melihat Ibu duduk termenung menatap foto Bapak. Bukankah tikus tidak suka duduk termenung?
Hingga satu bulan berselang kami tidak juga melihat Bapak pulang ke rumah. Dan Ibu sepertinya sudah mulai merelakan kepergian Bapak.
“Bapak benar-benar sudah menjadi tikus. Ia tidak ingat rumah, lupa istri dan anak-anaknya,” aku membisiki Rash. Rash merapatkan tubuhnya ke arahku.
“Lalu bagaimana dengan Ibu? Apakah mulai ada tanda-tanda Ibu juga akan berubah menjadi seekor tikus?” Rash menjijitkan kakinya agar bibirnya sampai di telingaku.
“Kupikir begitu. Kulihat Ibu akhir-akhir ini jarang menangis lagi. Ibu juga sering keluar rumah di malam hari. Bukankah tikus betina suka pergi meninggalkan anak-anaknya saat hari menjelang gelap?”
“Wah, aku jadi penasaran ingin melihat wajah Bapak seperti apa sekarang. Apakah ini-nya sudah ditumbuhi ekor?” Rash meraba pantatnya sendiri. Aku tertawa. Membayangkan Bapak memiliki ekor dan berlarian di bawah kolong tempat tidur lalu menggerogoti celana kotor kami.
“Malam nanti kita cari Bapak, yuk!” Rash berseru riang. Aku mengangguk. Aku juga penasaran. Seperti apa penampilan Bapak setelah lama pergi meninggalkan rumah.
Usai menutup pintu dan jendela, malam itu aku dan Rash melewati lorong-lorong panjang di sekitar area setasiun. Kami mencari Bapak di sana. Kami sengaja tidak bertanya pada orang-orang yang kami temui. Sebab kami tidak ingin mereka tahu bahwa Bapak kami sudah berubah menjadi tikus.
Suasana pengap serta bunyi peluit kereta sesekali membuat langkah kami terhenti. Rash yang umurnya lebih muda dua tahun dariku sering bertanya ini itu, membuatku harus berpikir keras untuk memberikan jawaban yang mudah dimengerti olehnya.
“Beberapa pria dan wanita mengendap-endap masuk ke dalam gerbong kereta yang kosong. Kau tahu apa kira-kira yang mereka lakukan?” Rash menyentuh punggung tanganku.
“Mungkin mereka bersembunyi seperti Bapak dan Ibu kita—sedang menjalani proses menjadi tikus,” aku menjawab serius.
“Oh…jadi mereka tidak ingin ada yang tahu bagaimana ekor tumbuh dari balik bokong mereka?” Rash menyipitkan kedua matanya. Aku mengangguk dan berharap dalam hati Rush tidak bertanya hal-hal rumit lagi, yang membuatku kebingungan mencari jawabannya.
Kaki kami terus melangkah hingga di penghujung lorong di mana lokomotif kereta api biasa diistirahatkan. Kami berhenti sejenak di sana. Duduk-duduk di atas rel sembari menatap bulan yang termenung.
“Kok sampai sejauh ini kita belum menemukan Bapak, ya?” Rash menggerak-gerakkan ujung kakinya.
“Seekor tikus memang lincah bersembunyi. Kau ingat ketika kita mengejar tikus di dalam rumah?” aku menanggapi.
“Iya. Tikus itu menghilang di bawah kolong rak piring di dapur. Mungkin ia masuk ke dalam gorong-gorong air,” Rash masih menggerak-gerakkan ujung kakinya. Tapi kemudian ia berdiri. Kepalanya meneleng sedikit ke arah salah satu kolong lokomotif.
“Kukira aku baru saja melihat Bapak!” Rash berseru lantang seraya berdiri.
“Kau melihat seekor tikus?” aku ikut berdiri. Rash mengangguk
“Benar! Tikus itu besar sekali. Di bawah sana. Aku juga sempat melihat buntut-nya. Sangat panjang!” Rash menunjuk ke arah bawah lokomotif.
“Mungkin ia memang Bapak kita,” aku bergumam seraya menyentuh pundak adikku. Rash terdiam.
Beberapa saat lamanya kami sama-sama terdiam.
Lalu tiba-tiba saja, tanpa bisa kucegah, Rash berlari menuju salah satu lokomotif yang berada di sebelah kiri. Ia berjongkok, memasukkan kepalanya ke dalam kolong lokomotif itu sambil berteriak-teriak heboh. “Kemarilah! Aku sedang melihat Bapak!”
Aku terpaksa berjalan menghampirinya.
“Wah, kabur lagi!” Rash berseru kecewa. Kemudian kulihat Rash berlari-lari kecil lagi. Mengejar seekor tikus yang melintas di sepanjang rel kereta api.
Rash tidak mau berhenti. Ia terus saja memburu tikus itu. Rash mengira tikus itu adalah Bapak.
Dan aku tidak bisa menghentikannya.
Juga ketika kereta api dari arah utara melintas dengan kecepatan tinggi dan melindas tubuh mungil adik laki-lakiku itu—aku pun tidak kuasa menghentikannya.
Sementara dalam perjalanan pulang, saat melewati salah satu gerbong kosong, sekelebat kulihat Ibu. Ia berjalan mengendap-endap bersama seorang pria.
Ah, Ibu. Rupanya ia juga sudah bertransformasi menjadi seekor tikus.
***
Malang, 28 Maret 2018
Cerpen ini pertamakali tayang di Kompasiana.com.
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021