Poligami dan Isu-Isu Perempuan dalam Citra Fiksi
Membaca novel A Thousand Splendid Suns karya Khaled Hosseini membuat dada ini sesak.
Bagaimana tidak, novel ini telah berhasil membuat saya, dan saya yakin juga dengan jutaan pembaca lainnya, berderai air mata dari awal sampai akhir.
Dengan latar belakang konflik peperangan Afganistan dan penguasaan Taliban, novel Best Seller New York Times ini berhasil memotret kehidupan perempuan; dari yang terlihat sampai ke jeritan di ranjang-ranjang mereka.
Dua perempuan, tokoh utama, dalam novel ini: Mariam dan Laila, mengalami kekerasan dari usia mereka sejak masih sangat belia.
Mariam yang lahir dari hubungan di luar nikah. ibunya adalah seorang pembantu, sementara ayahnya adalah majikan ibunya. Karena hubungan itu, ia harus terusir dari kehidupan ayah dan keluarganya, bahkan sejak ia masih dalam kandungan.
Ia harus hidup jauh di perkampungan yang sepi untuk menjaga nama baik ayahnya sekaligus majikan Ibunya yang terhormat dan kaya raya. Seorang laki-laki dengan tiga istri dan 10 anak.
Meski sang ayah sering mengunjungi Mariam dan ibunya, Nana, dan memberikan setetes harapan, namun ibunya selalu mengingatkan Mariam bahwa kebaikan Ayahnya, yang bernama Jalil itu, hanya sekadar penebus dosanya saja. Tidak lebih dari itu. Mariam jangan terlalu Ge-er. Itu yang selalu di khutbahkan Nana kepada Mariam. Walau bagaimanapun, ia hanyalah seorang harami, anak haram. Ia lahir dari hubungan yang tidak dikehendaki.
Mariam terus tumbuh menjadi remaja. Ia hidup bersama mimpi-mimpi indah bersama ayahnya yang selalu mengunjunginya setiap minggu.
Sementara ibunya selalu mematahkan ranting-ranting harapan yang dipupuk oleh Jalil, Ayahnya, yang selalu mendendangkan mantra bahwa hanya dirinyalah yang menyayangi dirinya.
Hanya akulah yang kau miliki di dunia ini, Mariam, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!
Hubungan Mariam-Jalil semakin terjalin erat sebagai hubungan Anak-Ayah. Ada kerinduan yang membuncah pada hati Mariam kepada Jalil, seperti saat ayahnya telat datang. Ia selalu menunggu kedatangan Ayahnya dan berlari menyongsongnya ketika terlihat langkahnya.
Waktu terus berjalan, ketika Mariam berulang tahun ke-15, ia meminta kepada Ayahnya hadiah untuk bisa menonton film di bioskop milik ayahnya, dan tinggal di rumah mewah ayahnya bersama saudara-saudaranya.
Tapi harapan tinggal harapan, Jalil tidak pernah menepati janjinya. Meski Mariam mengiba di depan pintu rumahnya.
Pengorbanan Mariam tidak hanya sampai di situ, ia juga harus kehilangan Nana, Ibunya, yang gantung diri karena ditinggal Mariam menemui Jalil.
Singkat cerita, Mariam terpaksa tinggal di Rumah Jalil. Ia tidak punya siapa-siapa lagi sepeninggal Nana. Tinggal di rumah mewah milik Ayahnya sebenarnya impiannya. Tapi, ia harus menelan pil pahit. Ayah yang dicintainya dan tiga istrinya besekongkol mengusirnya. Ia dikawinkan paksa dengan seorang duda tua, Rasheed. Mariam saat itu masih berusia 15 tahun.
Meski Mariam menolak sekuat tenaga, tapi akhirnya ia tak kuasa untuk menerima pernikahan itu.
Manis mulanya, pahit getir selanjutnya. Begitulah yang dirasakan Mariam.
Dalam kepahitan pernikahannya, hadir gadis belia, Laila (14th). Gadis ini dinikahi Rasheed dengan dalih melindunginya. Kedua orang tuanya, kakak-kakaknya menjadi korban peperangan. Ia sebenarnya gadis pintar dan lahir dari keluarga berpendidikan, ayahnya seorang guru.
Ia sebenarnya punya teman dekat. Tariq namanya. Mereka saling jatuh cinta. Bahkan kegadisan Laila telah diberikan kepada Tariq bersama cintanya.
Namun cinta keduanya harus kandas karena muslihat Rasheed. Laila akhirnya jatuh dalam pelukan Rasyeed, jadi madu Mariam.
Awalnya, Laila menjadi permaisuri di rumah Rasheed. Rasheed meminta Mariam melayani semua kebutuhan istri keduanya itu. Jelas Mariam menolak mentah-mentah.
Bersama berjalannya waktu, sang permaisuri pun akhirnya diperlakukan sama seperti Mariam. Bentakan, pukulan tendangan menjadi makanan sehari-hari keduanya. Tanpa ada sebab yang jelas.
Akhirnya keduanya akur dan bekerjasama atas dasar satu penderitaan sebagai istri Rasheed.
Kekerasan semakin menjadi-jadi ketika Taliban berhasil menguasai Afganistan. Pemahanan agama Taliban yang rigid semakin memojokan perempuan.
Faktor ekonomi Rasheed yang morat-marit karena peperangan semakin membuat dia mudah marah dan tak terkendali.
Laila jadi sasaran. Rasheed nyaris saja mencekiknya. Kalau saja Mariam tidak menghantamkan sekop di kepala Rasyeed. Suami pemarah dan pelaku kekerasan itu akhirnya terkulai lemas dan bersimpah darah. Ia mati di tangan Mariam, istrinya.
Di akhir cerita, Laila hidup bahagia bersama Tariq, kekasihnya, yang ternyata masih hidup. Sementara Mariam merelakan dirinya dihukum mati karena dakwaan pembunuhan terhadap Rasheed.
Novel ini telah berhasil mengungkap persoalan-persoalan perempuan dari stigma “anak haram”, poligami, pernikahan anak, kekerasan dalam rumah tangga, aurat, mahram, pendidikan dan lain sebagainya.
Membaca novel setebal sekitar 500 halaman ini tak terasa. Saya selalu dibuat penasaran untuk terus membaca, membaca, dan membaca.
Novel versi Indonesia yang diterbitkan penerbit Qanita tahun 2007 ini telah mencuri perhatian banyak orang. Saya yakin novel ini bisa menyaingi novel perdana Hosseini, The Kite Runner, yang berhasil membius jutaan pembaca.
Detailnya mengingatkan saya dengan Novel Best Seller The Da Vinci Code karya Dan Brown atau Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Bagi para pecinta buku fiksi dan isu-isu perempuan, saya yakin akan merasa rugi jika tidak membaca novel luar biasa ini. ***
Balekambang, 10 April 2020