Sayap-Sayap Doa di Langit Arafah (Bagian-3) –Vaksinasi Meningitis dan Influenza
KAMIS, 27 Februari 2020, saya dan istri pergi ke Puskesmas Kramatjati untuk melakukan vaksinasi meningitis dan influenza. Hal ini sesuai pemberitahuan pihak Puskesmas melalui WhatsApp beberapa waktu sebelumnya.
Kepergian kami ke Puskesmas diiringi berita yang menghebohkan yaitu Pemerintah Arab Saudi stop atau memberhentikan, untuk sementara waktu, kegiatan umrah, ziarah, kunjungan wisata menuju Arab Saudi untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19).
Saya hanya bisa berdo’a, semoga badai corona ini cepat berlalu. Agar umat Islam leluasa beribadah ke Baitullah.
Balik lagi ke vaksinasi meningitis dan influenza.
Menurut alodokter.com, “meningitis adalah infeksi yang menyebabkan peradangan pada selaput yang melindungi otak dan sumsum tulang belakang. Penyakit ini berisiko tinggi terjadi di bagian tertentu di dunia, terutama Arab Saudi, sebagai tempat umat muslim menunaikan Ibadah Haji dan Umrah.”
Lebih lajut web dokter itu mengatakan:
“Untuk mencegahnya, vaksin meningitis menjadi vaksinasi yang diwajibkan oleh Kementerian Kesehatan Arab Saudi. Sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah mendapat vaksin meningitis menjadi syarat calon Haji untuk mendapatkan visa.”
Saya sudah sampai Puskesmas Kramat Jati. Setelah WA istri, saya langsung naik ke lantai dua menuju ruangan Poli Haji. Istri menyusul masih dalam perjalanan.
Di sana sudah ada beberapa jama’ah yang sudah datang duluan. Saya menyerahkan foto copy kertas hijau yang didapat waktu tes kesehatan beberapa waktu yang lalu kepada petugas.
Saya menunggu panggilan di depan ruang poli haji sekaligus menunggu istri yang masih dalam perjalanan. Tak lama kemudian datang Pak Tua dengan wajah yang ceria. Ia duduk di samping saya.
“Bapak tinggal dimana?” tanya saya membuka pembicaraan.
“Saya tinggal di Batu Ampar” jawabnya dengan ramah. Saya di Balekambang. Kata saya.
“Kalo gitu kita tetangga.” Kata Bapak yang mengaku sudah punya cucuk banyak itu. Kemudian kami ngobrol ngarol ngidul. Akhirnya saya tahu Bapak itu bernama Pak Mashuri. Beliau berangkat haji sendiri karena istrinya sudah tiada. Sebenarnya kami sudah bertemu di acara pra-manasik. Kata Pak Mashuri. Tapi saya tidak ingat.
“Pak Maman.” Petugas dari dalam poli memanggil nama saya.
“Iya”. Saya langsung berdiri dan masuk ruangan yang berpendingin dan terasa nyaman itu.
Di dalam sudah ada jama’ah haji yang sedang divaksinasi. Badannya tinggi besar, seperti pemain volly ball. Rambutnya sudah mulai bekeju. Ah… seperti saya juga. Ia bersama istrinya.
Sementara Ibu Sri, salahsatu petugas poli ini, sudah heboh. Wah ini bakal ada tulisan lagi tentang pengalaman vaksinasi meningitis bla…bla…bla…membuat ruangan menjadi ramai dan hangat. Bahkan membuat tensi saya meninggi. Tapi tidak tahu juga sih penyebabnya apa hehe.
Sementara lelaki tinggi besar itu akhirnya saya tahu namanya, Pak Christiyanto. Ia ikut nimbrung.
“Ayo tanya siapa namanya Pak, sudah berapa lama kerja di sini? Buat data tulisan.” Katanya sambil matanya menunjuk ke petugas yang akan memeriksa saya.
Terpaksa saya tanya juga petugas itu.
“Mbak siapa namanya?” tanya saya.
Saya panggil mbak karena petugas itu masih terlihat muda.
“Ida.” Jawabnya sambil senyumnya mengembang.
Lalu mbak Ida memegang alat seperti pistol mainan. “Ceklek” terdengar suaranya setelah ditekan. Ada sinar menyorot di jidat saya. Di layar monitornya terlihat angka. Ternyata suhu badan saya cukup hangat. Lebih hangat ketimbang Pak Chris yang sebelumnya mengaku seorang yang hangat hehe.
Lalu, “wah tensinya tinggi Pak. Mungkin karena naik tangga.” Kata Mbak Ida. Dicoba sekali lagi masih tinggi. Kemudian dipindah ke lengan sebelah kanan. Akhirnya dapat tensi yang normal.
Saya jadi penasaran.
“Mbak, apa bedanya alat yang ini dengan yang itu?” kata saya sambil menunjuk alat yang dipakai “nembak” jidat saya dengan alat dilipatkan di lengan.
“Yang ini untuk mengukur tensi darah. Kalo yang ini untuk mengukur suhu badan.” Jawabnya singkat padat dan jelas.
Yang saya tahu untuk mengukur suhu badan memakai alat yang diselipkan di ketiak. Pikir saya dalam hati. (waduh saya kok ndeso banget).
Setelah itu, saya diminta ke meja petugas berikutnya, meja Bu dokter. Saya diminta tanda tangan. Waduh saya lupa itu isinya apa yang saya tanda tangani. Sepertinya semacam lembar kesediaan untuk divaksinasi.
Setelah selesai, saya dipanggil Ibu Sri ke tempat pemeriksaan. Ada kain putih sebagai pembatas antara tempat pemeriksaan dengan meja Bu dokter.
“Silakan duduk Pak.” Ibu Sri mempersilahkan.
Saya langsung duduk di atas tempat pemeriksaan. Ibu Sri menyiapkan jarum suntik dan lain-lainnya.
“Menginitis selalu sebelah kiri ya Pak.” Kata Ibu Sri.
“Iya.” Jawab saya singkat.
Wajah saya melengos ke kanan. Saya tidak berani melihat jarum suntik. Hanya melirik sedikit.
“Bismillah…..cessss….” Ibu Sri menusukan jarum kecil itu di lengan sebelah kiri saya. Gak sakit sih. Hanya terasa sedikit nyeri.
Lalu Ibu Sri bergeser ke sebelah kanan.
“Bapak tidak elergi telor kan?” tanya Ibu Sri.
“Gak Bu. Emang kenapa Bu?.” Saya balik tanya.
“Soalnya vaksin influenza ini medianya dari telor.” Jelasnya.
Ia mulai mengoles-oles lengan kanan saya dengan kapas. Sepertinya kapas diolesi alkohol.
“Telor apa Bu?” tanya saya penasaran.
“Telor ayam.” Jawabnya.
Bu Sri pun mulai menusukan jarum
“bismillah…cesss…”.
Seperti sebelumnya, saya pun melengos. Kali ini saya melengos ke sebelah kiri. Saya tidak berani melihat jarum itu menembus kulit saya.
“Sudah Pak.” Kata Ibu Sri.
Di balik tirai sebelah tempat vaksinasi, para petugas saling lempar kata. Yang saya dengar, kenapa vaksinasi di lengan tidak di p@nt4t?.
“Boleh aja sih divaksin di p@nt4t kalau yang divaksin ganteng.” Kata seseorang berncanda.
Orang-orang ini paling pinter mencairkan suasana yang beku dan mengusir kejenuhan. Pikir saya dalam hati.
Saya pun keluar dari tempat penyuntikan. Lalu duduk di depan meja dokter.
“Bayarnya di sini Pak. 350 ribu.” Kata Bu dokter, langsung.
Sebelumnya memang sudah dikasih tahu bayarnya 175 ribu per orang. Karena saya berdua dengan istri jadi 350rb. 175rb itu untuk bayar vaksin influenza. Karena biaya vaksin meningitis sudah termasuk bayar waktu tes kesehatan yaitu sekitar 400rb.
Saya pun mengeluarkan uang warna merah tiga lembar dan warna biru satu lembar. Tapi jama’ah haji jangan tanya ada kwitansinya gak. Karena memang kami tidak dikasih kwitansi. Kami hanya dikasih sekotak snack.
“Seperti bayi habis diimunisasi kan dikasih kue.” Kata petugas.
Saya manggut-manggut saja. Sambil membawa dua kotak kue itu.
Vaksinasi selesai. Kami pun pamit.
Semoga para jama’ah haji sehat badannya, bersih hatinya, mabrur hajinya. Seperti slogan yang dicanangkan para pelaksana.
Bersambung…