Memahami Konstruksi Seks dan Seksualitas di Indonesia
Orang Indonesia, bila mendengar kata seks biasanya selalu diartikan sebagai hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan (dalam artian terjadi penetrasi). Oleh sebab itu, maka kata seks ini menjadi tabu untuk diperbincangkan (lihat tulisan Memdobrak Tabu: Membincang seks dalam Rumah Tangga). Bahkan karena asumsi tersebut, ada sebuah lelucon yang biasa dilekatkan pada istilah seks di Indonesia yang berbeda dengan di Barat.
Ceritanya begini, ada orang Indonesia di pesawat menuju ke Amerika diminta mengisi formulir kedatangan yang di dalamnya ada isian identitas diri. Salah satu pertanyaannya setelah name (nama) dan date of birth (tanggal lahir) adalah sex yang diartikan sebagai jenis kelamin. Dan biasanya dalam kolom tersebut diharapkan mengisi dengan sex: female or male. Tetapi, orang Indonesia itu bukannya mengisi male or female malah yang dia isikan dalam kolom tersebut (sex: twice a week). Dia mungkin berfikir yang ditanyakan adalah berapa kali melakukan hubungan seksual dengan pasangannya sehingga yang terbersit adalah jawaban itu.
Cerita di atas mungkin hanya sekedar intermezzo berkaitan dengan term seks. Karena memang biasanya terjadi kesalahfahaman dalam memahaminya. Term seks dan seksualitas di Indonesia biasanya diartikan sama yakni merujuk kepada aspek biologis. Padahal, yang berkaitan dengan aspek biologis adalah seks, sementara seksualitas, sebagaimana jender, adalah konstruksi sosial. Istilah seksualitas mengacu pada berbagai aspek yang berkaitan dengan perasaan, hasrat, praktek, nilai-nilai, kepercayaan dan perilaku (Weeks, 1989). Oleh sebab itu, seksualitas sangat berkaitan dengan konstruksi sosial dan budaya (Oakley, 1972; Jackson, 1978; Weeks, 1989).
Ketika berbincang tentang seksualitas di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari jender. Keduanya saling berhubungan satu dengan lainnya. Artinya, kita tidak bisa membincang seksualitas tanpa membincang jender. Keduanya selalu melekat dan dilekatkan dan itu dimulai dari seorang anak terlahir (bahkan mungkin sejak masih di dalam kandungan). Sebagai contoh pemilihan warna baju anak, mainan dan upacara menyambut anak antara laki-laki dan perempuan sudah dibedakan. Dan proses internalisasi ini terus berlanjut pada pola pengasuhan dan perilaku yang kemudian menjadi baku yang kita sebut norma.
Norma jender ini diajarkan dan disosialisasikan melalui berbagai media seperti di rumah, sekolah, dan masyarakat sehingga terjadi proses internalisasi. Norma jender ini juga dipengaruhi oleh berbagai wacana dan narasi di antaranya adalah aturan negara, aturan agama dan aturan adat istiadat. Negara dengan ideologi jendernya di masing-masing periode pemerintahan, agama dengan berbagai aturan dogmanya dan juga budaya lokal dari masing-masing daerah di Indonesia dengan segala aturan adatnya masing-masing, memberi nuansa tersendiri terhadap aturan seksualitas. Namun demikian, walaupun terdapat perbedaan dari masing-masing narasi tersebut, ketiganya saling mempengaruhi dan menguatkan satu sama lain ke arah satu narasi besar dan dominan yakni aturan norma jender dengan ideologi normatif.
Di antara ke tiga narasi yang paling berpengaruh adalah narasi dari doktrin agama. Narasi agama yang berkaitan dengan seksualitas melalui teks-teks sucinya mampu mengarahkan dan mendoktrin para pengikutnya untuk mentaati aturan-aturan yang diturunkannya. Aspek agama ini kenapa disebut sebagai paling berpengaruh karena ada dalil teks agama yang sifatnya transenden yang mengerangkainya sehingga lebih memberikan pengaruh kepada pengikutnya dibandingkan aspek lainnya.
Aturan ideologi jender yang normatif itu bila dikaitkan dengan narasi agama Islam berkaitan dengan seksualitas perempuan adalah pelekatan standar ganda[1]: yang pertama, pandangan bahwa seksualitas perempuan dalam Islam dikategorikan sebagai aktif. Bahwa perempuan memiliki hasrat seksual aktif oleh sebab itu harus diwaspadai karena akan menimbulkan ‘fitnah.’[2] Seksualitas perempuan yang aktif ini biasanya dilekatkan pada perempuan lajang (single). Karena asumsi ini maka muncullah pembatasan, pengaturan dan bahkan pengontrolan (untuk tidak mengatakan kriminalisasi) atas tubuh perempuan dan segala aspek yang berkaitan dengan seksualitas perempuan seperti terlihat pada perda-perda syariah (contoh pembatasan jam malam untuk perempuan).
Kedua, pandangan yang menyatakan bahwa seksualitas perempuan sebagai pasif. Ini pengkategorian yang mensifati perempuan sebagai seseorang yang diharapkan selalu pasrah, nerima dan melayani dalam hal seksualitasnya. Pandangan seksualitas perempuan yang pasif ini dilekatkan pada perempuan menikah (married woman) dalam konsep istri yang taat pada suami yang tugasnya adalah memenuhi kebutuhan seksualitas suami. Dan pandangan-pandangan ini mendapatkan legitimasinya dari teks-teks agama (contoh hadis laknat perempuan)[3].
Pemahaman tentang pandangan ganda terhadap seksualitas perempuan di atas dipengaruhi oleh interpretasi atas teks-teks agama yang juga dikuatkan oleh konstruksi sosial budaya yang masih memandang seksualitas perempuan sebagai inferior terhadap seksualitas laki-laki. Akan tetapi pada waktu yang bersamaan memandang seksualitas perempuan sebagai liar dan berbahaya. Pandangan Stereotype terhadap seksualitas perempuan ini sudah saatnya dihilangkan karena bertentangan dengan pandangan moral tentang kesetaraan sebagaimana yang disuarakan oleh Alquran. Surat an-Nur ayat 30 dan 31 menjelaskan bahwa baik laki-laki dan perempuan diharapkan untuk menjaga seksualitasnya karena keduanya sama-sama memiliki hasrat dan keduanya diharapkan untuk mampu mengontrol hasrat tersebut.()
Referensi
Jackson, S. (1978). On the Social Construction of Female Sexuality. Exploration in Feminism, 4. London: WRRC.
Mernissi, F. (1987). Beyond the Veil: Male –Female Dynamics in Muslim Society. (Revised ed.). Bloomington: Indiana University Press.
Oakley, A. (1972). Sex, Gender and Society. London: Maurice Temple Smith Ltd.
Week, J.
(1989). Sexuality. London: Routledge.
[1] Fatima Mernissi menjelaskannya sebagai teori eksplisit dan teori implisit.Fatima Mernissi, Beyond the Veil: Male –Female Dynamics in Muslim Society. (Revised ed.). Bloomington: Indiana University Press. 1987. h. 32
[2] Akan dibahas dalam tulisan berikutnya
[3] Akan dibahas dalam tulisan berikutnya