Emak, Perempuan Barakah Itu
Awalnya sulit nian menebak isi hati Emak. Sebab ia pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Apapun yang dihadapi, ekspresi wajahnya sama sekali tidak berubah. Tetap terlihat teduh. Senyumnya senantiasa tersungging, tak kunjung luntur.
Emak memang selalu begitu. Dulu pun, saat memergoki Bapak melakukan kesalahan, tergoda oleh perempuan lain–janda muda yang tinggal bersebelahan rumah dengan kami, Emak sama sekali tidak marah. Raut mukanya tetap tenang. Ia tidak pula mengumbar ujaran kebencian. Seperti yang kerap dilakukan oleh perempuan-perempuan lain jika hatinya tersakiti.
Aku masih ingat benar, bukannya marah membabi buta, Emak malah menggandeng tangan Bapak. Mengajaknya pulang setelah terlebih dulu membantu mengenakan sandal dan merapikan sarung Bapak yang melorot.
Duh, Emak. Aku saja yang melihat kelakuan Bapak merasa amat malu dan ingin sekali melabraknya habis-habisan.
Terhadap perempuan selingkuhan Bapak, Emak juga bersikap sangat baik. Ia tidak menjambak atau mencakar wajahnya. Emak hanya meninggalkan pesan, “Aku mendoakanmu agar segera diberi hidayah oleh Allah untuk kembali menjadi perempuan yang benar.”
Sesampai di rumah, kupikir Emak akan berubah pikiran. Melampiaskan kemarahan yang barangkali memang sengaja ditunda-tunda.
Aku yang ketika itu masih berusia belasan tahun, menunggu dengan was-was di balik pintu. Siap menyaksikan hal terburuk yang akan terjadi.
Tapi ternyata tidak. Usai menutup pintu, Emak berlalu dengan tenang menuju dapur. Menjerang air. Lalu menyeduh secangkir kopi untuk Bapak.
Masih dengan wajah tidak berubah, Emak menghampiri Bapak yang duduk terpekur di beranda. Emak menggeser sebuah bangku kecil. Menjejeri suaminya itu sembari berkata, “Minumlah dulu. Supaya pikiranmu tenang dan tubuhmu tidak masuk angin.”
Bapak tidak menyahut. Hanya tangannya tampak gemetar ketika meraih kopi yang tersaji di atas meja.
Pemandangan itu tentu saja membuat hati kecilku bertanya-tanya. Bagaimana mungkin Emak bisa bertahan sesabar itu? Apakah karena ia terlalu mencintai, sehingga kesalahan apapun yang dilakukan oleh Bapak menutupi sebagian hatinya?
Entahlah, aku tidak tahu. Yang kulihat Emak masih saja duduk dengan tenang di samping Bapak. Tanpa sedikit pun mengungkit-ungkit kejadian yang memalukan itu, yang baru saja dilakukan oleh Bapak dan menggegerkan seisi kampung.
Alhasil, hingga kaki kecilku kesemutan aku tidak pernah menjumpai pertengkaran hebat seperti yang ada dalam pikiranku. Semua terlihat baik-baik saja.
Hanya kemudian aku dikejutkan oleh sesuatu. Bapak tiba-tiba berhambur di pangkuan Emak. Menangis tersedu-sedu di sana. Memohon maaf atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Bukan Emak namanya jika tidak berbesar hati memaafkan kesalahan Bapak. Aku melihat Emak mengelus lembut pundak Bapak. Lalu mengatakan kalimat ini dengan suara pelan, “Aku telah memaafkanmu sebelum engkau memintanya.”
Kejadian penuh haru itu amat membekas di hatiku. Dan ketika usiaku sudah menanjak dewasa kukira sudah saatnya aku mengetahui rahasia apa yang menjadikan Emak bisa bersikap sesabar itu dalam menghadapi kemelut rumah tangganya.
Aku ingin belajar banyak dari Emak sebagai bekal kelak jika aku sudah menikah.
Di suatu senja yang temaram, kesempatan itu akhirnya datang. Kami duduk berdua, Emakpun tak segan berbagi cerita.
“Tidak ada pernikahan di dunia ini yang berjalan mulus sesuai keinginan, Nduk. Suatu kali pasti akan timbul konflik dan persoalan. Bahkan manusia pilihan seperti Kanjeng Nabi juga pernah mengalami sebuah peristiwa, haditsul ifk yang sempat mengguncangkan kota Madinah.
Kala itu istri yang paling dikasihinya—Aisyah dikabarkan melakukan penyelewengan dengan Shafwan. Ini merupakan guncangan paling besar bagi beliau. Tersebab masyarakat banyak yang terlanjur mempercayainya.
Tapi Rasulullah bukanlah kita. Beliau manusia paling sempurna dalam menjaga lidah dan kesabarannya. Jikalau tidak, tentu berakhirlah kisah manis pernikahan Rasulullah dan Aisyah hanya sampai di situ.”
Usai menarik napas sejenak, Emak melanjutkan ceritanya kembali sembari menatap ke arahku.
“Nduk, sabar tidak sama dengan ketidakberdayaan. Sabar itu lebih condong kepada kemampuan mengendalikan diri, lebih kepada usaha untuk menjaga kejernihan pikiran dan kebersihan hati. Dan kesabaran Emakmu ini dalam menghadapi Bapakmu, adalah semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Sebagaimana diketahui bahwa ridha suami menjadi bagian dari ridha Allah.”
“Itukah sebab mengapa Emak masih juga melayani Bapak dengan baik dan tetap tersenyum meski Bapak pernah menyakiti hati Emak?” aku menyela hati-hati.
“Benar sekali Nduk. Emak ingin selalu dekat dengan Rasulullah. Dengan cara mengikuti petuah-petuahnya.
Dalam satu kesempatan, beliau, Rasulullah pernah bersabda; setiap istri yang melayani suaminya dengan niat yang benar, maka dirinya terbebas dari dosa-dosa selayak bayi yang baru dilahirkan. Ia akan meninggal dalam keadaan tanpa dosa. Menjumpai kuburnya seindah taman surga dan Allah akan memberinya pahala seperti seribu orang yang berhaji dan berumrah. Serta malaikat memohonkan ampunan untuknya sampai hari kiamat.”
“Subhanallah!” aku berseru takjub.
“Dan satu lagi. Setiap istri yang tersenyum manis di hadapan suaminya, maka Allah akan memperhatikannya dengan penuh rahmat.”
Sampai di sini aku tercenung. Aku mulai paham apa yang selama ini tersimpan di dalam pikiran dan hati Emakku.
Kiranya perempuan itu selalu ingin dekat dengan junjungannya. Dengan menjalankan amalan-amalan yang tercermin dari kehidupan Rasulullah Saw dan keluarganya.
***
Emak bagiku bukan sekadar sosok Ibu. Emak juga seorang guru. Guru pertama yang mengajarkan kepadaku tentang kebaikan.
Tidak hanya sikapnya yang penyabar dan penuh kasih sayang, Emak juga seorang perempuan yang pantang mengeluh.
Pernah suatu hari tanpa sepengetahuanku ia mencucikan pakaianku yang menumpuk di pojok kamar mandi. Tentu saja hal tersebut membuat perasaanku tidak nyaman.
“Mak, besok-besok kalau melihat cucianku menumpuk, tidak usah dicandak. Biar aku cuci sendiri,” ujarku merasa sangat bersalah. Dan seperti biasa, Emak menanggapi kata-kataku dengan tersenyum.
“Pernahkah kau mendengar kisah indah bagaimana Rasulullah menasihati putri kesayangannya Fatimah Az-Zahra?” Emak menyentuh pundakku. Aku menggeleng. Emak lalu mengajakku duduk. Dan mulailah ia bercerita.
“Suatu hari Rasulullah bertandang ke rumah Fatimah. Ketika itu Fatimah sedang menggiling tepung sambil menangis. Tentu saja Rasulullah terkejut. Beliau segera menanyakan perihal apa yang membuat putrinya sedemikian sedih. Fatimah menjawab, bahwa ia merasa amat lelah karena setiap hari harus menggiling tepung menggunakan tangan. Belum lagi mengurus rumah tangga sendirian tanpa seorang budak.
Dalam isak tangisnya Fatimah meminta agar Ayahandanya membantunya mempermudah cara kerja alat penggiling. Fatimah tahu, Ayahandanya mampu memerintahkan apa saja untuk bergerak sendiri atas seizin Allah. Ia juga meminta kepada Rasulullah agar bicara dengan suaminya, Ali, untuk mencarikannya seorang budak.
Menanggapi keluhan putrinya, Rasulullah tersenyum. Beliau segera mengajak Fatimah menepi. Duduk berdua di sebuah bangku. Lalu mengelus pundak anak semata wayangnya dan menasihati dengan penuh kasih sayang.
Wahai, anakku, sesungguhnya engkau menyegerakan kepahitan dunia untuk kemanisan akhirat.
Dengarlah, Fatimah. Setiap istri yang berkeringat di sisi alat penggilingan karena bekerja keras membuatkan bahan makanan untuk suaminya, maka Allah memisahkan dirinya dari api neraka sejauh tujuh hasta.
Dan setiap istri yang meminyaki rambut anak-anaknya, menyisirkan rambut mereka, serta mencucikan baju mereka, maka Allah mencatat pahala seperti pahala orang yang memberi makan kepada seribu fakir yang kelaparan dan pahala orang yang memberi pakaian kepada seribu fakir yang telanjang.”
Aku ternganga. Sedemikian banyak ladang ibadah yang menjanjikan kemuliaan bagi seorang perempuan yang sudah menikah. Bahkan tanpa harus keluar rumah, pahala besar sudah bisa dipetik asal dikerjakan dengan hati yang tulus dan ikhlas.
Sungguh. Selain merasa takjub dengan nasihat Rasulullah yang disampaikan untuk Fatimah, aku juga merasa bangga terhadap diri Emak. Sebegitu dalam pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan sederhana yang telah melahirkanku itu. Mengingat Emakku hanyalah seorang perempuan desa yang pendidikannya tidak terlalu tinggi. Ia hanya lulusan Madrasah Tsanawiyah.
Di usia yang sudah cukup matang, ia bertemu Bapak dan langsung menikah. Tanpa proses pacaran. Menikah pun dilakukan secara sederhana. Dengan mahar yang tidak memberatkan.
Meski kalau mau, bisa saja Emak dan Bapak mengadakan pesta besar-besaran tersebab Bapak berasal dari keluarga yang mapan dan cukup terpandang. Tapi Emak yang terbiasa hidup bersahaja menolak. Emak tidak ingin menghambur-hamburkan uang demi sesuatu yang israf (berlebihan).
Uang tersebut lebih baik digunakan untuk beramal membantu sesama yang kurang mampu. Demikian alasan yang dikemukakan Emak.
Di usianya yang kini mulai merenta, Emak tetap tidak berubah. Ia masih Emak yang dulu. Yang masih setia menyeduhkan kopi untuk Bapak–laki-laki yang kini usianya sama uzur dengan dirinya. Emak masih rajin menjalankan ibadah sholatnya. Bangun lebih pagi dari siapapun. Membuka pintu dan jendela-jendela. Membiarkan udara segar masuk memenuhi ruangan. Lalu bergegas mengambil air wudhu, berdiri di belakang Bapak sebagai makmum untuk kemudian melakukan sholat Subuh berjamaah.
Terkadang aku—yang kini sudah menikah dan sudah pula menjadi seorang ibu dari satu bocah laki-laki lucu berusia tiga tahun, datang mengunjunginya. Melepas rasa rindu. Tidur berdampingan di sisinya sembari mendengarkan kembali cerita-cerita indahnya. Utamanya cerita tentang kehidupan Rasulullah dan keluarganya.
“Jangan pernah putus bershalawat di mana pun kamu berada. Supaya keluargamu terjaga keselamatannya, senantiasa mendapat berkah, dan syafaat di hari kiamat.”
Demikian yang selalu Emak ingatkan setiap kali aku mencium tangannya sebelum berpamit pulang.
***
Malang, 05 Oktober 2019
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021