Memahami Kata Rahmah

Ilustrasi: freepik.com

Kemudian apa makna kata “Rahmah”?.

Kata ini selalu dan di mana-mana diterjemahkan dengan kasih atau kasih sayang. Kata ini begitu populer di tengah-tengah masyarakat. Ayat al-Qur’an yang sering dibaca atau disampaikan adalah :

وما ارسلناك الا رحمة للعالمين

“Dan Aku tidak mengutusmu kecuali sebagai rahmat untuk alam semesta”.

Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan : “Berkat Rahmat Allah”.

Lalu apa maknanya?.

Kata ini mengandung paling tidak tiga makna. Pertama “Riqqah al-Qalb”, hati yang sensitif, atau hati yang peka. Dalam bahasa yang lebih populer mungkin disebut “empati”. Ialah sebuah emosi merasakan apa yang dirasakan orang lain. Ialah sebuah perasaan terhadap yang lain tanpa jarak. Aku merasakan apa yang kamu/dia rasakan. Atau aku mengerti apa yang kamu/dia alami. Atau dalam bahasa puitiknya : “kau/dia adalah aku”.

Dalam konteks perkawinan, kata “rahmah” bermakna hendaklah suami memahami dan merasakan apa yang dirasakan isterinya, baik dalam keadaan suka maupun duka. Demikian pula sebaliknya, isteri merasakan apa yang dirasakan suaminya, dalam suka dan duka.

Makna kedua adalah “al-Luthf”, berarti lembut atau kelembutan. Ini berlaku dalam ucapan dan dalam tindakan. Kedua suami isteri hendaklah saling berkata dan bertindak baik, santun, bergairah, menyambut yang lain dengan wajah binar, tidak cemberut, tidak kasar dan sejenisnya.

Makna ketiga dari kata “Rahmah” adalah “al-Maghfirah”, memaafkan. Dalam relasi antar personal, termasuk suami-isteri, akan selalu atau acap terjadi ketidaksamaan pendapat atau kekeliruan, kelalaian, kesalahan dan sejenisnya. Maka kasih menuntut masing-masing untuk rendah hati dan memaafkan jika ada kesalahan pasangannya.

Tiga makna itu berada dalam wilayah kemampuan manusia. Artinya bisa diusahakan. Inilah makna “Ja’ala” (menjadikan) yang membedakannya dari kata “khalaqa” (menciptakan).

“Khalaqa” (Menciptakan) adalah mengada dari ketiadaan. Dan ini wilayah kekuasaan Tuhan. Sedangkan “Ja’ala” (menjadikan) adalah mengada dari yang ada.

Keberadaan atau wujud manusia adalah ciptaan Tuhan. Hanya Tuhan, tidak selain Dia. Saling mencintai dalam arti mawaddah, berkata-kata/bersikap lembut dan saling memaafkan adalah dalam domain ikhtiar manusia, karena itu bisa dan harus diusahakan.

Jadi pernikahan adalah transaksi/perjanjian suci antar laki-laki dan perempuan di hadapan Allah untuk penyatuan tubuh dan ruh, jiwa dan raga untuk sebuah cita-cita luhur. Dalam dunia sufisme penyatuan ini dikenal dengan “Ittihad”, atau “Hulul”. Dalam keadaan ini keduanya melebur dan hilang bentuk.

Wallahu A’lam.

28.06.19

Buya Husein Muhammad
Latest posts by Buya Husein Muhammad (see all)
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Buya Husein Muhammad

Pendiri Fahmina Institute Cirebon. Ketua Yayasan Fahmina. Pengasuh Pesantren Dar Al Tauhid. Pendiri Rahima Jakarta. Pendiri Puan Amal Hayati.

Buya Husein Muhammad
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x