Puisi-Puisi Diah Irawaty yang Membuat Merinding dan Menggetarkan di Hari Perempuan Internasional
Puisi-1
MANIFESTO KEBANGKITAN
Aku berada di ketiadaaan eksistensi pada tengah
semesta belenggu
Saat dibunuh kehampaan naluri, perlahan
Aku menjadi fosil, karang-karang diam
Hanya meraung, merintih dalam hijab gelap yang merenta
Meradang dalam cengkeraman nihilnya rasa setara
Airmataku hilang daya, terkuras dalam jemawa
Rahimku mengerontang, terpaku, nestapa
Pikirku terkulai, tak lagi mampu bergerak
Tangan-kakiku musnah kuasa lindungnya
Tubuh bervaginaku wajah abadi subordinasi
Akupun jadi tak politis lagi
Di sini, nasib kaumku melata menjadi pariah
Teralienasi dari hamparan misoginis yang enggan
menoleh
Tersudut dalam pojokan jagad tak beralur
Menjelmakan kodrat yang bukan kodrat
Memaksa, memaksa, memaksa dan mendominasi: dunia
hegemonik
Itukah saat-saat kekalahan?
Aku tak mau tanamkan duka miris dan dongeng lara
(Ini memang bukan dongeng)
Aku tak mau terpaku
Tak juga diam, hanya membeku
Aku mau bergulat gelut menahan deras renggutan negasi
Dari mereka dan juga sejenis bundahawa
yang berdiri di atas moral dan kata-kata samawi
Ini bukan utopia nihilia, kurasa
Ini perjuangan, perjuangan untuk perubahan
Perjuangan untuk perjuangan itu sendiri
Perjuangan perubahan, meski tak semua sudi berubah
Apalagi, kita hanya sedang melanjutkan dentang
kebangkitan
dan tunas jiwa-jiwa pemberontakan
Merenggut gumpalan-gumpalan cita yang merekahkan riak
harap
Yang menggelorakan segenap jiwa raga keadilan dan
kesetaraan
Kebangkitan!
Kaliankah itu wahai kaumku?
Mengawali lembayung fajar yang masih enggan membuka
mata
Tak lelap meski rembulan telah menampakkan wajah
ovalnya
Menyulap seisi rumah menjadi benih kekuatan
Menebarkan cinta kasih
Mengguris sisa hidup di sarang begu ganjang
patriarkhisme
Kebangkitan!
Enyahlah domestifikasi bias nurani dalam modifikasi
kesantunan
Kunci rapat pintu masuk kata manis dewi tolol yang
membuai-lenakan
Lepaskan saja hipokrisi baju agama dan moralitas itu,
bakar!
Kau bukan komunitas penis envy imajinasi Freud
Atau pula makhluk setengah manusia logika Aristoteles
Apalagi isteri tanpa hak keintiman ala Nawawi al-Bantani
Kau bukan mayat tak berjiwa
Kebangkitan!
Lihat perempuan Perancis berjuang meminta roti di muka
parlemen
Bergerak bagai kaum ibu Plaza de Mayo meminta kembali
anak-anaknya
Lalui jalan perempuan Chepko India demi tempat tinggal
dan alam yang dirampas
Menangis untuk ibu-ibu yang diborgol demi tingginya
harga susu
Juga untuk mereka yang jadi tumbal kekerasan
Jadi korban kawan!
Ingatlah!
Tahu sajapun tak cukup
Berhenti membiarkan korban berjatuhan
Ayo kita akhiri saja kebiasaan mengorbankan ini
Tubuhmu kuasamu
Pikirmu energimu
Rasamu dayamu
Parasmu senjatamu
Suaramu mahkamahmu
Rumahmu tangan kakimu
Kebangkitan!
Puisi-2
Dari dan Pada Dia Yang Terampas Haknya
Sebuah tubuh tak segar, tubuh perempuan
Luka-luka, kering
Baju terlalu sering terkena air dan panas matahari
Sandal jepit aus, tak bisa melindungi kaki dari debu sekalipun
Telapak tangan yang lebih tua dari wajahnya
Wajah yang tak semuram mereka yang gagal pentas
Dua mata tak berbinar
Senyum manis yang pahit
Sekedar tameng bagi duka dan perih yang lama
Pulas tidur entah kapan terakhir dinikmatinya
Malam-malamnya adalah malam malaikat penjaga rumah
Sisa gigi yang tanggal
Sisanya hilang di sebuah trotoar menuju pasar
Bayi 7 bulan di kandungannya, tak begitu besar, terlalu berat bagi tubuh tak bergizi
Suami tak sayang membuatnya tampak lebih tua
Tak ada tempat berkeluh
Pada ilalang di halaman rumahnya sekalipun
Suami paduka raja
Atau mahapatih, atau seorang shalih
Padahal setiap harinya adalah pemberi hukuman
Hitam di kening itu adalah alibi, sesungguhnya penutup aib
Ia yang merenovasi rumahnya menjadi tahanan, atau penjara
Suara lantang dari mesjid seberang jalan
Suaminya yang menjadikan mesjid tempat mengutuk dan melaknat perempuan
Suami amnesia, tentang perempuan yang melahirkan
Membentak, menggertak, memaki
Entah kapan terakhir menunjukkan apresiasi
Suatu hari, orang-orang bergunjing, para tetangganya
suaminya ingin menjadi raja sesungguhnya
Mencari madu atas nama agama
Yang dijadikannya sebagai kuasa pemaksa
Menolaknya, berhak atas hukuman dan karma
Ia tak tahan lagi
Ia menolak
Ia menantang dan menentang
Cukup
Derita menyayat
Nestapa
Kau bilang memukulku adalah pelajaran menjadi istri sholehah
Kau bilang melayani hasratmu meski aku tak setuju adalah ibadah
Kau bilang aku harus tetap diam
Kau mengajak malaikat ikut mengutukku
Tidak
Kekerasan harus berhenti
Bukan saja demi aku
Juga untuk kaumku
Aku ingin kebebasan, kebahagiaan, dan kekuasaan atas tubuh, hati, dan fikiranku sendiri
Aku mau hidup dengan caraku sendiri
Aku ingin semua perempuan merdeka dan bebas menentukan pilihan
Aku ingin kau tahu
Kau tak punya kuasa, apalagi hak
Jubahmu simbol keangkuhan dan kuasamu
Aku sudahi saja drama ini
Pincitraan diri
Kesantunan semu
Kini
Hidup adalah pilihan dan kuasanya sendiri
Tubuh ringkih penuh lebam itu melangkah pasti menuju masa depannya sendiri
Menggenggam kuasa di tangannya sendiri
Tubuh itu berubah menjadi kuasa
Pengalaman pahitnya adalah momen transformasi
Dunia bagai medan perang adalah inspirasi
Tubuhnya kini adalah senjata
Perempuan berkuasa atas tubuhnya, sumber eksistensi
Ia memilih menjadi suara bagi perempuan sepertinya
Aku menundukkan kepala padanya
Hormatku pada ketangguhannya
Merebut hak-haknya yang terampas
Selamat Hari Perempuan Internasional,
Teruslah melangkah pasti, tetap semangat, jangan lelah berjuang
New York, Maret 2021,
Diah Irawaty
Diah Irawaty, Pendiri LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) dan Kandidat PhD di Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, Amerika Serikat.