Puisi-Puisi Diah Irawaty yang Membuat Merinding dan Menggetarkan di Hari Perempuan Internasional

Sumber foto: dailynewsegypt.com

Puisi-1

MANIFESTO KEBANGKITAN

Aku berada di ketiadaaan eksistensi pada tengah
semesta belenggu
Saat dibunuh kehampaan naluri, perlahan
Aku menjadi fosil, karang-karang diam
Hanya meraung, merintih dalam hijab gelap yang merenta
Meradang dalam cengkeraman nihilnya rasa setara

Airmataku hilang daya, terkuras dalam jemawa
Rahimku mengerontang, terpaku, nestapa
Pikirku terkulai, tak lagi mampu bergerak
Tangan-kakiku musnah kuasa lindungnya
Tubuh bervaginaku wajah abadi subordinasi
Akupun jadi tak politis lagi

Di sini, nasib kaumku melata menjadi pariah
Teralienasi dari hamparan misoginis yang enggan
menoleh
Tersudut dalam pojokan jagad tak beralur
Menjelmakan kodrat yang bukan kodrat
Memaksa, memaksa, memaksa dan mendominasi: dunia
hegemonik

Itukah saat-saat kekalahan?

Aku tak mau tanamkan duka miris dan dongeng lara
(Ini memang bukan dongeng)
Aku tak mau terpaku
Tak juga diam, hanya membeku
Aku mau bergulat gelut menahan deras renggutan negasi
Dari mereka dan juga sejenis bundahawa
yang berdiri di atas moral dan kata-kata samawi

Ini bukan utopia nihilia, kurasa
Ini perjuangan, perjuangan untuk perubahan
Perjuangan untuk perjuangan itu sendiri
Perjuangan perubahan, meski tak semua sudi berubah
Apalagi, kita hanya sedang melanjutkan dentang
kebangkitan
dan tunas jiwa-jiwa pemberontakan
Merenggut gumpalan-gumpalan cita yang merekahkan riak
harap
Yang menggelorakan segenap jiwa raga keadilan dan
kesetaraan

Kebangkitan!

Kaliankah itu wahai kaumku?
Mengawali lembayung fajar yang masih enggan membuka
mata
Tak lelap meski rembulan telah menampakkan wajah
ovalnya
Menyulap seisi rumah menjadi benih kekuatan
Menebarkan cinta kasih
Mengguris sisa hidup di sarang begu ganjang
patriarkhisme

Kebangkitan!

Enyahlah domestifikasi bias nurani dalam modifikasi
kesantunan
Kunci rapat pintu masuk kata manis dewi tolol yang
membuai-lenakan
Lepaskan saja hipokrisi baju agama dan moralitas itu,
bakar!

Kau bukan komunitas penis envy imajinasi Freud
Atau pula makhluk setengah manusia logika Aristoteles
Apalagi isteri tanpa hak keintiman ala Nawawi al-Bantani
Kau bukan mayat tak berjiwa

Kebangkitan!

Lihat perempuan Perancis berjuang meminta roti di muka
parlemen
Bergerak bagai kaum ibu Plaza de Mayo meminta kembali
anak-anaknya
Lalui jalan perempuan Chepko India demi tempat tinggal
dan alam yang dirampas
Menangis untuk ibu-ibu yang diborgol demi tingginya
harga susu
Juga untuk mereka yang jadi tumbal kekerasan
Jadi korban kawan!

Ingatlah!
Tahu sajapun tak cukup
Berhenti membiarkan korban berjatuhan
Ayo kita akhiri saja kebiasaan mengorbankan ini

Tubuhmu kuasamu
Pikirmu energimu
Rasamu dayamu
Parasmu senjatamu
Suaramu mahkamahmu
Rumahmu tangan kakimu

Kebangkitan!

Puisi-2

Dari dan Pada Dia Yang Terampas Haknya

Sebuah tubuh tak segar, tubuh perempuan
Luka-luka, kering
Baju terlalu sering terkena air dan panas matahari
Sandal jepit aus, tak bisa melindungi kaki dari debu sekalipun
Telapak tangan yang lebih tua dari wajahnya
Wajah yang tak semuram mereka yang gagal pentas
Dua mata tak berbinar
Senyum manis yang pahit
Sekedar tameng bagi duka dan perih yang lama

Pulas tidur entah kapan terakhir dinikmatinya
Malam-malamnya adalah malam malaikat penjaga rumah
Sisa gigi yang tanggal
Sisanya hilang di sebuah trotoar menuju pasar
Bayi 7 bulan di kandungannya, tak begitu besar, terlalu berat bagi tubuh tak bergizi

Suami tak sayang membuatnya tampak lebih tua
Tak ada tempat berkeluh
Pada ilalang di halaman rumahnya sekalipun
Suami paduka raja
Atau mahapatih, atau seorang shalih
Padahal setiap harinya adalah pemberi hukuman
Hitam di kening itu adalah alibi, sesungguhnya penutup aib
Ia yang merenovasi rumahnya menjadi tahanan, atau penjara

Suara lantang dari mesjid seberang jalan
Suaminya yang menjadikan mesjid tempat mengutuk dan melaknat perempuan
Suami amnesia, tentang perempuan yang melahirkan
Membentak, menggertak, memaki
Entah kapan terakhir menunjukkan apresiasi

Suatu hari, orang-orang bergunjing, para tetangganya
suaminya ingin menjadi raja sesungguhnya
Mencari madu atas nama agama
Yang dijadikannya sebagai kuasa pemaksa
Menolaknya, berhak atas hukuman dan karma

Ia tak tahan lagi
Ia menolak
Ia menantang dan menentang

Cukup
Derita menyayat
Nestapa
Kau bilang memukulku adalah pelajaran menjadi istri sholehah
Kau bilang melayani hasratmu meski aku tak setuju adalah ibadah
Kau bilang aku harus tetap diam
Kau mengajak malaikat ikut mengutukku

Tidak
Kekerasan harus berhenti
Bukan saja demi aku
Juga untuk kaumku
Aku ingin kebebasan, kebahagiaan, dan kekuasaan atas tubuh, hati, dan fikiranku sendiri
Aku mau hidup dengan caraku sendiri
Aku ingin semua perempuan merdeka dan bebas menentukan pilihan

Aku ingin kau tahu
Kau tak punya kuasa, apalagi hak
Jubahmu simbol keangkuhan dan kuasamu
Aku sudahi saja drama ini
Pincitraan diri
Kesantunan semu

Kini
Hidup adalah pilihan dan kuasanya sendiri
Tubuh ringkih penuh lebam itu melangkah pasti menuju masa depannya sendiri
Menggenggam kuasa di tangannya sendiri
Tubuh itu berubah menjadi kuasa
Pengalaman pahitnya adalah momen transformasi
Dunia bagai medan perang adalah inspirasi
Tubuhnya kini adalah senjata
Perempuan berkuasa atas tubuhnya, sumber eksistensi

Ia memilih menjadi suara bagi perempuan sepertinya

Aku menundukkan kepala padanya
Hormatku pada ketangguhannya
Merebut hak-haknya yang terampas

Selamat Hari Perempuan Internasional,
Teruslah melangkah pasti, tetap semangat, jangan lelah berjuang

New York, Maret 2021,
Diah Irawaty

Diah Irawaty, Pendiri LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES) dan Kandidat PhD di Departemen Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, Amerika Serikat.

Maman Abdurahman
Follow me
5 1 vote
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Maman Abdurahman

Meneliti dan menulis masalah perkawinan dan keluarga. Sekali-kali menulis cerpen dan puisi.

Maman Abdurahman
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x