Satu Hal Lagi tentang Keluarga
Pagi ini, seperti juga pagi-pagi hari sebelumnya, saya harus bergegas dan bangun lebih awal. Menyiapkan pakaian anak-anak dan ayah mereka, membersihkan wajan dan piring-piring kotor sembari memasak untuk sarapan pagi keluarga, dan tak lupa memasukan pakaian kotor ke dalam mesin cuci dan langsung mencucinya. Tak bisa ku lewatkan waktu begitu saja berlalu sia-sia. Di sela menunggu masakan matang dan mesin cuci selesai berputar, segera ku raih sapu dan pel untuk membersihkan ruangan agar rapi dan bersih sebelum kutinggalkan.
Belum usai sampai di sana, segera setelah anak-anak terbangun, memandikan dan merapikan anak-anak menjadi rutinitas selanjutnya. Setelah anak-anak dan ayah mereka selesai sarapan dan berangkat beraktifitas, tak lantas saya ikut pergi, karena masih ada tugas yang belum selesai dikerjakan, menjemur pakaian agar sepulang siang nanti, pakaian sudah kering dan siap disetrika. Setelah itu, baru saya berangkat beraktifitas menemani buah hati terkecil di sekolahnya.
Begitu dan begitu. Serangkaian seremoni harian yang menjadi rutinitas wajib sebagai seorang istri yang harus dilakukan dengan semaksimal kemampuan yang dimiliki. Tak henti-henti dilakukan dalam diam sebagai bentuk pemahaman bahwa ini adalah tanggung jawab sebagai seorang istri dan bentuk ketaatan kepada suami. Tak hanya satu dua orang ibu rumah tangga yang melakukan rutinitas ini. Ribuan, bahkan jutaan, dan sangat mungkin kita adalah satu di antaranya.
Semua istri melakukannya, tak terkecuali. Walau sejatinya, Dia bukanlah seorang perempuan yang tak memiliki bekal ilmu, bahkan bisa jadi dia menggenggam ijazah perguruan tinggi yang ilmunya belumlah lagi sempat diamalkan. Namun, lagi-lagi, waktunya habis tiada bersisa dengan kesibukan mengurus rumah tangga dan anak-anak, membuatnya selalu berfikir ulang untuk melakukan lebih untuk dirinya sendiri. Padahal sangat mungkin terbersit di hatinya untuk membaca buku yang sudah sebulan tak rampung-rampung ia selesaikan membacanya.
Atau bisa juga terbersit keinginan menghasilkan sebuah karya yang bisa ia hasilkan dan lakukan dari rumah. Namun, lagi-lagi kepenatan melaksanakan rutinitas tersebut bahkan terkadang juga karena fisik yang tak mampu diajak bekerja lebih karena lelah mendera, dan semua ini sangat berpotensi menimbulkan stress pada seorang istri. Jika hal ini dibiarkan, istri memendam kelelahan ini sendiri dan memendam keinginan hati karena tak bisa berkarya, maka jangan salahkan jika suatu saat bom waktu meledak memporak-porandakan Kehidupan rumah tangga yang telah dibina.
Di sinilah suami harus belajar memahami. Karena rumah tangga sejatinya adalah rumah yang dibangun bersama oleh suami dan istri, bukan oleh istri saja atau pun oleh suami saja. Demikian juga sebuah keluarga, ia terbentuk dengan ada ayah, Ibu, dan anak-anak di dalamnya yang satu sama lain memegang tanggung jawab yang sama penting dalam membangun dan menjaga keutuhan keluarga. Karena sejatinya, dalam Islam sebuah pernikahan haruslah menghadirkan segala kebaikan (jalbu al-masalih) dan menghindarkan segala keburukan (dar’u al-mafasid). Artinya, sebuah pernikahan akan mendorong semua pihak, terutama kedua pasangan, untuk memandang pasangannya secara bermartabat, saling menghormati, saling bekerja sama, menopang, dan menolong, agar pernikahan itu sukses dan membahagiakan keduanya. Tanpa mengagungkan salah satu dan meminggirkan yang lainnya.
Bahkan, dalam Islam, seseorang tidak diberikan beban tanggung jawab hanya karena jenis kelamin semata, istri di wilayah domestik dan suami di publik misal, melainkan karena kemampuan dan pencapaian yang dimiliki. Karena sejatinya, pernikahan adalah pertemuan dua insan, laki-laki dan perempuan, dalam sebuah ikatan berkeluarga untuk bekerja sama dan berpartner dalam mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia, penuh cinta, dan kasih sayang. Kasih sayang dan cinta kasih ini harus diusahakan bersama dan dirasakan keduanya. Karakter utamanya berpasangan (izdiwaj) dengan kerjasama (musyarakah) harus menjadi landasan dalam memaknai konsep-konsep rumah tangga, seperti kepemimpinan, ketaatan, kerelaan, termasuk dalam praktik pekerjaan rumah tangga.
Hal ini pada akhirnya berujung pada tujuan yakni lahirnya ‘istri sholehah’ sebagai kado terindah bagi laki-laki, dan adanya ‘suami yang sholeh’ yang menjadi kado terindah bagi perempuan. Sehingga keduanya, satu sama lain, saling melayani, saling mencintai, menentramkan, dan membahagiakan. Wallahu a’lam.
- Gaidha - 06/04/2020
- Saat Buah Hati Suka Membawa Pulang Barang Orang lain - 31/03/2020
- Pentingnya Orang Tua Menjadi Teladan dalam Perilaku Jujur Anak! - 17/03/2020