Topeng
Mbah Karim duduk bertekuk kaki di atas dingklik kecil. Tangannya yang keriput bergerak lincah menggoreskan pisau penatah pada potongan kayu sengon berukuran 8×10 sentimeter. Sesekali ia berhenti, melemaskan jemari tangannya dan menyentuh sigaret tingwe yang sengaja diselipkan di atas cuping telinga kanan.
Ya. Ia hanya menyentuhnya. Tidak berani lebih dari itu. Sejak dokter Puskesmas menasihatinya agar ia berhenti total dari kebiasaan buruk, merokok.
“Kalau tidak berhenti, selain batuknya semakin parah, Bapak bisa terkena serangan jantung,” dokter Puskesmas itu berkata serius. Mbah Karim menanggapinya dengan tersenyum kecut. Kalau bukan karena dokter yang menasihati, mana mau ia mendengarkan segala bentuk nasihat? Coba kalau Masiyem–istrinya yang menegur, pasti tidak akan digubrisnya.
Potongan kayu di tangannya mulai memperlihatkan bentuk yang jelas. Sejenak Mbah Karim menggeser duduknya. Menelengkan kepala sedikit. Memastikan apakah letak kedua mata dan bibir yang baru saja diukirnya pada permukaan kayu itu sudah simetris.
“Ngaso dulu, Kang!” suara cempreng Masiyem membuatnya menoleh.
“Sebentar lagi, Yem. Tanggung!” Mbah Karim kembali mengalihkan pandangannya ke arah topeng yang sudah setengah jadi. Dan ketika ia merasakan salah satu mata topeng itu berkedip ke arahnya, barulah ia memutuskan menghentikan pekerjaannya.
***
Galeri sederhana yang terletak di samping rumah, petang itu tampak lengang. Topeng-topeng dengan berbagai ukuran menempel rapi pada dinding yang terbuat dari anyaman bambu.
Lelaki yang pernah menjadi primadona panggung itu tampak sibuk memilah topeng-topeng berdasarkan warna catnya. Topeng berkarakter protagonis–sebagian berwarna lembut dan terang, ia letakkan di bagian dinding sebelah kanan. Sedang topeng berkarakter antagonis–berwarna gelap dan suram ia letakkan di sisi dinding sebelah kiri.
Sebuah topeng dengan senyum mengembang sempat mencuri perhatiannya, membuat mata tuanya berhenti agak lama tertuju pada benda itu.
Tiba-tiba saja ia teringat, topeng itu dulu pernah menghiasi wajah seseorang yang setia menemaninya menari di atas panggung.
Ya, benar. Mbah Karim di masa muda adalah seorang penari topeng yang cukup piawai. Ia bahkan pernah dinobatkan sebagai penari terbaik oleh pemerintah daerah setempat di mana ia tinggal.
Tapi itu dulu. Sebelum ia akhirnya terpaksa meninggalkan dunia panggung yang telah membesarkan namanya itu.
Turun panggung. Istilah yang membuat lelaki itu kembali teringat pada kejadian tiga belas tahun lalu saat ia mengalami kecelakaan. Mobil yang dikendarai bersama rombongan para penari, saat menuju perjalan pulang usai manggung, mendadak remnya blong.
Kecelakaan itu membuat salah satu kakinya patah tulang hingga harus dipasang pen. Sejak itulah ia tidak bisa lagi berdiri dengan sigeg--posisi kuda-kuda yang wajib dikuasai oleh seorang penari pria pada umumnya.
Meski tidak bisa lagi memamerkan kemahirannya di atas panggung, bukan berarti Mbah Karim benar-benar meninggalkan dunia seni. Ia tetap ingin berkreasi. Dan pilihannya jatuh pada seni membuat topeng yang dianggapnya masih berhubungan erat dengan dunia tari yang pernah ditekuninya.
Mbah Karim baru saja berniat mengunci pintu galeri ketika telinganya mendengar suara langkah. Ia menoleh. Agak terkejut ketika dilihatnya seorang perempuan datang menghampirinya.
Perempuan itu bukan Masiyem.
“Apa kabar, Ka?” perempuan itu menegurnya dengan suara merdu.
Ka? Sudah lama telinganya tidak mendengar panggilan seperti itu. Dan hanya satu orang yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
“Kau pangling padaku, Ka?” perempuan itu membuka suara lagi. Mbah Karim urung mengunci pintu.
“Jeng?” Mbah Karim mengernyitkan kening. Perempuan di hadapannya itu mengangguk.
“Kita bicara di dalam galeri saja, ya,” Mbah Karim berbalik badan. Menggeser pintu galeri dan mempersilakan tamunya masuk. “Duduklah dulu di sini, Jeng. Aku akan mengambilkan air minum untukmu.”
***
Masiyem yang tengah mengangkat cucian di belakang rumah merasa terheran saat melihat suaminya berjalan tergopoh masuk ke ruang dapur. Perlahan perempuan bertubuh subur itu mengikuti langkah suaminya.
“Untuk siapa air mium itu, Kang?” Masiyem tidak tahan untuk tidak bertanya.
“Untuk tamu, Yem.”
Mendapat jawaban singkat dari suaminya, membuat Masiyem menaruh curiga. Jangan-jangan suaminya itu…ah, tidak mungkin!
Untuk menepis rasa kecurigaan yang memenuhi hatinya, Masiyem memutuskan membuntuti suaminya yang sudah berlalu meninggalkan dapur menuju galeri. Dan langkahnya tertahan sesaat di depan pintu galeri saat melihat suaminya duduk bersebelahan dengan sebuah topeng.
“Minumlah Jeng. Hanya air putih ini yang bisa kusuguhkan padamu.” Ia mendengar suaminya itu bicara sendiri.
Jeng?
Masiyem mendadak tersadar, topeng di samping suaminya itu adalah topeng yang selalu dikenakan oleh Jeng Astuti–perempuan yang selalu menjadi pasangan menari suaminya di atas panggung.
Dan Jeng Astuti adalah satu-satunya penumpang yang tidak terselamatkan saat kecelakaan mobil terjadi pada tiga belas tahun silam.
***
Malang, 10 Agustus 2019
- Belajar dari Kegagalan Sebuah Pernikahan - 29/03/2021
- [PUISI] Mengemas Sunyi - 27/03/2021
- [PUISI] Pintu Tak Lagi Bisa Menunjukkan Waktu - 06/03/2021