Dilema Perempuan Dalam Bereproduksi

Ilustrasi: freepik

Pernahkah Anda sebagai perempuan ditanya: ‘kapan menikah?’; ‘kenapa belum menikah?’, Atau kalau sudah menikah lantas ditanya: ‘kapan punya anak?’, ‘kenapa belum nambah anaknya?’ Sepertinya hampir kebanyakan perempuan mengalami hal ini. Bisa jadi yang bertanya hanya ingin basa-basi atau mengawali percakapan, tetapi sering kali yang orang lain anggap biasa menyebabkan tekan-tekanan tertentu bagi yang ditanya.

Seperti disebutkan pada tulisan kemarin bahwa di Indonesia memiliki anak masih merupakan tujuan utama dalam pernikahan (Seks dan Reproduksi: Memahami Gairah Seksual Perempuan Masa Reproduksi). Oleh sebab itu, pernikahan yang sukses adalah ketika pengantin perempuan segera hamil beberapa saat setelah pernikahan. Karena tuntutan untuk segera hamil dan memiliki anak inilah, maka kebanyakan dari pasangan menikah biasanya tidak menunda kehamilan. Selain itu, para orang tua biasanya juga menyarankan untuk tidak menunda kehamilan dengan berbagai alasan seperti ‘jangan menggunakan alat kontrasepsi dulu, nanti rahimmu kering. Bisa-bisa susah punya anak kelak.’

Karena tekanan akan tuntutan yang begitu kuat, beberapa pasangan akhirnya memutuskan untuk tidak menunda kehamilan walau awalnya mereka sudah merencanakan untuk menundanya. Mereka yang awalnya ingin melanjutkan kuliah dulu atau ingin melanjutkan bekerja sebelum hamil, harus tunduk pada tuntutan dan tekanan sosial.

Tekanan sosial ini tentu saja membuat para perempuan mengalami stress secara psikologis. Mereka harus menunjukkan potensi reproduksinya dengan hamil segera. Oleh sebab itu, biasanya pasangan pengantin beberapa minggu atau bulan setelah pernikahan, mereka sudah hamil agar mereka terhindar dari stigma.

Stigma berkaitan dengan reproduksi adalah apabila kehadiran anak tidak kunjung datang dalam pernikahan. Dalam hal ini, stigma biasanya langsung dituduhkan kepada perempuan sebagai penyebab ketidakhadiran anak tersebut. Padahal, banyak penyebab yang mungkin ada dari belum diberinya kesempatan hamil pada seorang perempuan: bisa dari kedua belah pihak (suami dan istri). Atau memang Allah belum memberikan kepercayaan itu di awal-awal pernikahan. Karena, banyak pasangan menikah baru memiliki anak ketika setelah 10 tahun atau 20 tahun pernikahan mereka. Kasusnya banyak termasuk teman-teman saya juga.

Biasanya, perempuan yang ‘mandul’ (istilah perempuan yang tidak memiliki potensi hamil) di masyarakat ‘dikasihani.’ Dikasihani karena idealnya seorang perempuan ideal selalu dipersepsi dengan menikah dan memiliki anak. Ketika seorang perempuan telah menyandang status menikah dan memiliki anak, di masyarakat Indonesia baru kemudian dianggap sebagai perempuan dewasa dan dengannya ia akan mendapatkan status sosial dan bisa ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan masyarakat.

Sementara itu, perempuan yang gagal menyandang ke dua status tersebut terkadang dimarginalkan dan bahkan bisa menjadi alasan bagi laki-laki (suami) untuk kemudian menikah lagi. Hal ini dilegitimasi dalam undang-undang pernikahan sebagai salah satu kebolehan suami untuk berpoligami. Padahal bila kita merujuk pada ayat Alquran surat An-Nisa ayat 3, ayat tersebut tidak pernah menjadikan ‘mandul’ sebagai kebolehan untuk berpoligami.

Sekali lagi, ketidakadilan gender masih menerpa perempuan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, perempuan diharapkan sebagai penanggung beban reproduksi dan tekanan-tekanan akan muncul apabila ia gagal dalam memenuhi tuntutan tersebut.

Sudah saatnya masyarakat menghargai pilihan apapun yang perempuan tempuh berkaitan dengan hidupnya terlebih yang menyangkut tubuhnya. Yakni pilihan untuk menikah atau tidak menikah; memiliki anak atau tidak memiliki anak; alat kontrasepsi apa yang akan dipergunakan; menunda kehamilan atau langsung hamil setelah menikah dan lain sebagainya. []

Irma Riyani
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 3 visit(s) today

Irma Riyani

Dosen Ilmu Alquran dan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia mendapatkan gelar PhD dari the University of Western Australia; MA dari Studi Alquran UIN SGD Bandung dan Islamic Studies Leiden University, Belanda. Disertasi S3 nya berjudul: The Silent Desire: Islam, Women’s Sexuality and the Politics of Patriarchy in Indonesia. Kajian yang digelutinya berkaitan dengan: Perempuan dan Sexualitas dalam Islam, Metodologi Hermeneutika Feminist atas Alquran, dan Studi Islam.

Irma Riyani
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x