Keluarga Anti HOAX

Ilustrasi: freepik

Keluarga adalah benteng utama dalam sebuah negara. Keluarga yang dibangun dengan prinsip- prinsip yang sesuai dengan nilai nilai keimanan, kemanusiaan dan keterbukaan akan mengarahkan kepada masyarakat yang juga beriman, berperikemanusiaan dan terbuka.

Pada saat ini musuh utama kita sesungguhnya bukan gempuran pesatnya teknologi tetapi sungguhnya sikap dan prilaku kita menghadapi teknologi tersebut. Termasuk di dalamnya bagaimana kita seharusnya bisa fair, terbuka dan saling menghormati dengan dukungan teknologi tadi. Makanya isu tentang HOAX atau berita bohong yang bersumber dari kedengkian menjadi musuh paling besar yang juga harus menjadi salah satu fokus kita dalam pendidikan keluarga.

Sejarah HOAX

Hoaks atau yang lebih dikenal dengan hoax, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebuah berita bohong (KBBI, 2017: 715). Sedangkan menurut Oxford English Dictionary Hoax diartikan sebagai “Malicious Deception” (Oxford English Dictionary, 2017: 452) atau sebuah kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat, baik itu demi keuntungan seseorang atau disini adalah sang si penyebar hoax atau dapat juga untuk menyebarkan kebencian.

Alexander Boese dalam bukunya Museum Of Xoaxes mencatat, hoax yang pertama kali dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff (Jonathan swift) pada tahun 1709. Pada saat itu, dia meramalkan kematian astrolog yang bernama John Partridge. Agar meyakinkan publik dan bahkan membuat berita palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Patridge di mata publik dan patridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga 6 tahun setelah Hoax beredar. Penyair aliran romantik Amerika serikat (Edgar Allan Poe) juga diduga pernah membuat 6 Hoax sepanjang masa hidupnya, seperti informasi dari hoaxes.org yang dikelola Boese (Sahrul Mauludi, 2019: 12).

Hoax sendiri sudah beredar sejak tahun 1943, tepat nya sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak. Dari teknologi mesin cetak inilah pula asal muasal Hoax berkembang. Perkembangan Hoax misalnya :

1)Hoax proper yaitu sebuah berita bohong yang sengaja dibuat oleh seseorang dengan sengaja untuk tujuan tertentu.

2)Judul berlebihan dan tidak sesuai dengan isi berita yaitu penulis sengaja membuat judul headline atau suatu berita secara berlebihan sehingga orang akan penasaran untuk melihatnya. Namun sebenarnya isi dari headline tersebut tidak sesuai dengan judul yang ditulis oleh sang penulis.

3)Berita benar namun memiliki konteks untuk menyesatkan adalah berita yang dibuat memang benar benar terjadi. Namun waktu kejadian nya sudah sangat lama dan tiba-tiba diedarkan kembali sehingga menyesatkan orang yang membaca berita tersebut tanpa mengecek tanggal kejadian nya kembali. Hoax umumnya bertujuan untuk “having fun” atau humor. Namun, hoax juga bisa dijadikan alat propaganda dengan tujuan politis, misalnya melakukan pencitraan atau sebaliknya, memburukkan citra seseorang atau kelompok. Unsur hoax sama dengan unsur “penipuan”, akan tetapi tidak ada yang perpindahan fisik yang terjadi. Penyebar hoax tidak harus memiliki tujuan yang pasti. Oleh karenanya, hoax menjadi perbuatan yang dapat dimasukkan kedalam ruang lingkup hukum pidana. Perbuatannya menyebarkan isu kebohongan yang mempengaruhi pikiran individu yang terkumpul menjadi pikiran masif. Ini sebenarnya ada “rantaian” kebohongan yang bersambung dari individu ke individu lainnya. Adapun hoax dapat berkembang karena kesalahan individu yang tidak meneliti informasi yang beredar. Oleh karenanya dalam UU ITE, individu yang meneruskan hoax kepada individu lainnya juga dianggap melakukan penyebaran informasi palsu.

Pada akhirnya informasi hoax justru di satu sisi menjadi suatu industri kapital yang terdapat kepentingan ekonomi politik dibaliknya (https://www.kominfo.go.id). Keberadaan informasi hoax akan selalu hadir di kehidupan bermedia sosial meski penegakan aparat hukum akan selalu menindak lanjut tindakan informasi hoax tersebut. Namun, hal tersebut belum lah cukup karena yang lebih efektif ialah bagaimana cara membangun masyarakat yang terkoneksi dengan internet untuk sadar dan selektif dalam menerima informasi di internet atau di media sosial untuk tercegahnya pengaruh informasi hoax yang marak di dunia maya. Di sinilah peran keluarga menemui urgensinya karena keluarga zaman now dominan pada gaya hidup yang selalu terkoneksi dengan internet atau bisa dibilang kini keluarga berada pada ‘era keluarga imoo’.

 Peran Pendidikan Islam dalam Keluarga

Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak. Dalam keluargalah proses pembentukan nilai akan menjadi sangat efektif diterapkan sehingga dapat dijadikan sebagai modal sosial nanti di masyarakat. Di sini dapat dimulai dengan penerapan prinsip prinsip nilai pada anak yang menurut Karthwohl dapat dikelompokan menjadi 5 tahap, yaitu :

1)Tahap receiving (menyimak).

2)Tahap responding (menanggapi)

3)Tahap valuing (memberi nilai).

4)Tahap mengorganisasikan nilai (organization)

5)Tahap karakterisasi nilai (characterization)

Penerapan nilai-nilai ini adalah bagian dari pendidikan yang berkaitan dengan etika (akhlak) yang bertujuan membersihkan diri dari perilaku hasad  dan dengki dan senantiasa terbiasa dengan perilaku terpuji. Pendidikan akhlak merupakan bagian terpenting dalam kehidupan sehari-hari dan intensitasnya ada dalam keluarga. Dipercaya atau tidak, pendidikan akhlak merupakan pendidikan yang dapat membawa anak-anak menuju kesuksesan dan keluarga memegang peranan yang sangat penting untuk itu karena orang tua dan keluargalah cerminan pertama yang dicontoh oleh anak.

Kaitannya dengan hoax, jika karakter dan akhlak yang baik sudah tertanam dalam jiwa anak-anak dalam sebuah keluarga, maka paling tidak mereka akan memiliki imun yang tinggi terhadap berbagai berita yang diterima. Pendidikan agama Islam yang di dalamnya termasuk penerapan akhlak akan menjadi filter pertama sehingga tidak mudah menerima hoax. Tradisi kroscek, mempertanyakan kebenaran informasi, tidak mudah terpancing dengan hasutan orang, tidak memiliki rasa dengki kepada siapapun menjadi modal utama agar keluarga mampu menolak hoax dan mampu menerapkan sikap anti hoax. Intinya juga pada bagaimana selalu membangun positive thingking.

Akhirnya, mengajarkan untuk selalu memfilter segala macam informasi yang diterima melalui medsos adalah menjadi basic skill tersendiri agar anak-anak terhindar dari perilaku buruk penyebar hoax dan terbiasa memberikan informasi yang benar, tepat dan bebas nilai yang tentunya hal ini sangat sesuai dengan ajaran Islam yang mengajarkan agar kita selalu menyebarkan kebenaran bukan menyebarkan kebohongan.

Sumber :
https://www.uinjkt.ac.id/id/rudiantara-pendidikan-islam-ekosistem-kuat-penangkal-hoax/
http://mustanginbuchory89.blogspot.com/2015/06/nilai-nilai-pendidikan-islam.html Akses 25 Oktober 2019.
https://www.ngopibareng.id/timeline/banyak-bicara-hoax-ternyata-ini-asal-usulnya-1265418 Akses 25 Oktober 2019, Pukul. 03.00 WIB.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/8648/melawan-industri-hoax/0/sorotan_media. Akses 25 Oktober 2019, Pukul. 03.15 WIB.
Mawardi, Evaluasi Pendidikan Nilai, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.

Daan Dini
Latest posts by Daan Dini (see all)
0 0 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Daan Dini

Mantan redaktur pelaksana Swara Rahima, founder Aminhayati Educares dan dosen di STAI Haji Agus Salim.

dini khairunida
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x