Mema’afkan Perselingkuhan, Mungkinkah?
Senja itu dari balik jendela rumah, kulihat hujan masih gerimis. Mendung tebal dan sayup suara katak terasa makin menambah sunyi hati. Andrea, perempuan usia tiga puluhan tergopoh-gopoh menaiki tangga rumah kayuku. Tak lama ia terdengar mengetuk pintu. Begitu kubuka, setengah berlari, ia menghambur ke pundakku. Tangisnya pecah. Tersedu-sedu. Andrea adalah teman sekelasku di pesantren dulu. Kini ia telah menikah, 7 tahun lamanya. Aku pun menghela nafas panjang sesaat setelah ia bercerita tentang “perselingkuhan” suaminya. Sebagai sahabat, aku berusaha mendengarkan, memahami dan memberi empati kepadanya.
Betapa pun perihnya, ia bertekad ingin memaafkan sang suami. Begitulah Andrea, sahabat perempuan yang kusayangi.
Dalam Islam, pernikahan merupakan ikatan suci, miitsaaqan ghaliza, antara istri dan suami yang dipersaksikan di hadapan keluarga, masyarakat, sekaligus Tuhan Yang Maha Esa. Tanggungjawabnya ada pada keduanya, di dunia maupun di akhirat kelak. Di dalam Al Qur’an Allah swt. berfirman:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (Q.S. An-Nisaa’: 1)
Membina keluarga memang merupakan upaya yang tidak mudah. Di dalamnya membutuhkan dasar keimanan dan ketakwaan yang kuat. Cinta dan kasih sayang yang dibangun hanya karena Allah swt. semata. Tidak ada alasan lain. Karena kebersamaan itu diharapkan tidak hanya di dunia saja tetapi juga hingga di akhirat nanti. Bersama-sama dengan anak-cucu yang beriman dan bertakwa hanya kepada Rabbul ‘izzah, saja.
Sayangnya dalam perjalanan mengarungi bahtera, seringkali pasangan lupa dengan tujuan awal pernikahan mereka. Yaitu melanjutkan garis keturunan, meneruskan kalimat tauhid, membangun generasi dzurriyatan thayyibah, yang beriman dan bertakwa hanya kepada Alah swt.
Bermacam godaan hiruk-pikuk dunialah yang menjadikan pasangan goyah memegang teguh janji suci pernikahan. Kemudian membuat mereka mudah berselingkuh. Lalu bagaimana sikap kita jika terjadi perselingkuhan?
Di dalam Al Qur’an diterangkan, sesungguhnya tidak mudah bagi seseorang menghukumi orang lain atau pasangan melakukan selingkuh. Kecuali atas dasar pengakuan pelaku sendiri. Karenanya butuh empat orang saksi yang adil dan benar-benar menyaksikan perbuatan fakhisyah tersebut dengan nyata.
Dalam hadis Nabi Muhammad saw. menerangkan: “Sesungguhnya Allah menetapkan bagian zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari. Zina mata dengan melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluanlah yang membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dari hadis Nabi tersebut perbuatan yang terakhir adalah selingkuh atau fakhisyah yang sesungguhnya. Sedangkan gejolak syahwat sebagaimana dikatakan hadis tersebut hampir dialami semua orang sebagai fitrah penciptaannya yang dibekali nafsu oleh Allah. Sehingga ketika setiap pasangan mampu meredamnya dan mencukupkan diri dengan istri atau suami maka itulah yang akan dicatat sebagai pahala meninggalkan zina, atau selingkuh. Sedangkan zina mata atau lisan adakalanya dapat dicegah dengan berwudhu dan banyak mengingat Allah swt.
Ketika nyata terjadi selingkuh, sudah cukup alasan bagi istri atau suami untuk mengajukan cerai. Namun di masyarakat banyak pasangan yang tetap mempertahankan ikatan pernikahan karena berbagai alasan. Alasan karena sudah ada anak atau karena ketergantungan ekonomi kerap digunakan pihak istri untuk terus mempertahankan rumah tangga. Tapi situasi ini tidaklah sehat karena sarat potensi KDRT/Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Namun jika sungguh-sungguh terjadi penyesalan (taubatan nasuha) dari pelaku untuk tidak lagi mengulangi perbuatannya, maka ada baiknya melakukan hal-hal berikut:
Pertama, Islam sebagai agama yang menuntun untuk selalu berbuat lebih baik, ihsan, tidak melarang seseorang untuk memaafkan suami atau istri yang selingkuh. Akan tetapi sebagai orang yang beriman tidak boleh membiarkan perbuatan munkar (perselingkuhan) itu terus terjadi. Istri atau suami harus mencegahnya dengan kesungguhan upaya yang baik dan penuh hikmah serta doa, dan memastikan tidak terulang kembali.
Kedua, jangan merasa bosan untuk saling mengingatkan dan nasehat-menasehati, watawashau bil haqq watawashau bis shabr di antara pasangan. Karena semua itu hakikatnya adalah ujian dari Tuhan. Siapa di antara hambaNya yang mampu berbuat lebih baik, membalas kejahatan dengan kebaikan. Dan mengimani akan adanya hari pembalasan untuk setiap amal perbuatan. Hal jazaul ihsani illal ihsan, tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula.
Ketiga, saling bersedia untuk introspeksi diri (muhasabah) agar dapat sama-sama memperbaiki kekurangan atau kesalahan. Dan tidak mengambil sikap saling menyalahkan satu sama lain.
Keempat, hindari mengungkit kembali permasalahan di waktu mendatang yang dapat menggoyahkan kepercayaan satu sama lain, dan belajar saling menurunkan emosi dan mengendalikan ego masing-masing.
Kelima, saling berusaha untuk menutup rapat aib pasangan, dan saling bersedia untuk memulai menata rumah tangga kembali dengan sabar dan tulus, ikhlas atas dasar iman dan takwa kepada Allah.
Keenam, teruslah saling berusaha dan berdoa memohon petunjuk dan perlindungan kepada Allah agar suami maupun istri dan anak-anak dihindarkan dari perbuatan fakhisyah selamanya. Sebagai tanda pribadi yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt. Semoga. Wallahu a’lam bis shawab.[Editor: Hf]
- 4 Cara Smart Dalam Membuat Perjanjian Pranikah - 15/08/2022
- Makna Hijab dan Muslimah Kekinian di Tengah Pandemi Covid 19 - 21/07/2020
- Mema’afkan Perselingkuhan, Mungkinkah? - 09/11/2019