Ayah dan Ibu Menjadi Sekolah Pertama untuk Anak
Ungkapan “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak (al-ummu madrasa ula)” adalah sebuah pengumuman penting terkait pendidikan seorang perempuan agar kelak menjadi ibu yang mampu mendidik anak-anak dengan baik, karena ‘bodohnya’ perempuan akan berimbas kesalahan pola asuh dan pendidikan anak-anaknya. Karena Ibu membawa peran penting dalam pendidikan Anak. Sehingga sudah bukan rahasia umum jika seorang Ibu berperan sangat penting dalam proses pendidikan dan tumbuh kembang Anak, mulai dari segi perilaku fisik hingga sisi psikologis mereka. Hal ini dikuatkan dengan banyaknya penelitian yang dilakukan para Peneliti yang konsen dalam hal ini.
Akan tetapi, ungkapan ini di sisi lain sebenarnya secara substansi memberikan pengertian bahwa “siapapun yang dekat dengan anak, maka dialah yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak tersebut.” Jadi, ungkapan ini bisa difahami tidak dikhususkan semata-mata untuk Ibu saja, dan berindikasi bahwa penyerahan tanggung jawab dalam mendidik dan mengasuh Anak hanya kepada Ibu semata, sehingga jika ia salah dalam mendidik anak, maka akan menjadi awal kehancuran generasi berikutnya.
Padahal pendidikan dan pengasuhan anak adalah tanggung jawab bersama antara Ayah dan Ibu. Para Ayah juga ikut berjuang menjadi Ayah yang terbaik dengan ikut terlibat dalam pengasuhan dan pendidikan Anak mereka. Sehingga keduanya harus berperan aktif dalam pengasuhan dan pendidikan anak-anak mereka. Ayah dan Ibu sebagai orang tua bertanggung jawab dan berperan sama pentingnya dalam mempengaruhi pendidikan dan pengasuhan Anak terutama dalam pembentukan karakter Anak di kemudian hari.
Begitu pentingnya pendidikan dan pengasuhan Anak ini, berindikasi bahwa Ibu jangan dipinggirkan dalam proses pendidikan, seperti ungkapan “Perempuan (Ibu) tidak perlu sekolah tinggi-tinggi”, padahal Ibu harus memiliki bekal ilmu dan pandangan hidup tentang bagaimana mendidik anak-anak mereka. Karena sebelum Ayah dan Ibu mendidik Anak, Ayah dan Ibu harus mulai dari mendidik diri sendiri bagaimana menjadi orang tua, menjadi manusia yang penuh teladan secara pribadi maupun sosial, sehingga tertanam rasa tanggung jawab sebagai orang tua dalam mengemban dan menjaga amanah yang ditetapkan Allah kepada mereka, menjadi manusia yang saleh yang taat kepada Allah dan selalu mampu berbuat baik kepada sesama.
Sehingga, jika suatu saat Ayah dan Ibu melihat Anak melakukan hal yang sama, baik itu hal yang baik maupun yang buruk, itu adalah buah dari perbuatan kita sebagai orang tua. Apa yang Ayah dan Ibu ucapkan, lakukan, dan atau bagaimana kita merespon tentang sesuatu, itu semua akan terekam oleh Anak-Anak. Oleh karenanya, sebagai orang tua, Ayah dan Ibu bertanggung jawab penuh dalam membentuk kecerdasan otak, emosional, dan spiritual Anak. Orang tua menjadi sekolah pertama dan utama, Ayah dan Ibu menjadi sekolah kehidupan yang tak dapat tergantikan.
Karena seorang Anak itu bagaikan selembar kertas putih yang bisa ditulis dan digambar apa saja oleh Ayah dan Ibu, dan sang kertas pun tidak akan pernah bisa menolak. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Hadits Rasulallah saw. dari Abu Hurairah RA bahwa “Tidak ada seorang Anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (bersih dan suci). Kedua orang tuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” Hadis ini secara tersurat menjelaskan bahwa orang tua (Ayah dan Ibu) berperan aktif dalam pengenalan dan pembentukan identitas Agama kepada seorang Anak. Begitupun dalam pengasuhan dan pendidikan Anak, kedua orang tualah yang berperan aktif membentuk karakter dan kepribadian Anak, dan Anak yang memperoleh perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tua, akan tumbuh lebih yang kuat secara psikis, lebih berkembang dalam segala aspek, baik aspek motorik, kognitif, dan bahkan sosial, dibanding jika hanya memperoleh dari salah satunya saja.
Oleh karena itu, Ayah dan Ibu harus mampu bekerjasama dengan baik dalam membesarkan Anak. Tidak hanya membebankan kepada Ibu saja yang harus menaruh perhatian penuh terhadap pendidikan dan pengasuhan Anak, namun Ayah juga harus banyak terlibat dalam proses tersebut. Ayah dan Ibu harus memiliki porsi yang sama dalam pemenuhan kebutuhan pendidikan, pengasuhan, dan tumbuh kembang Anak. Jangan sampai peran Ayah menjadi terbatas. Terlebih stigma bahwa ‘membesarkan anak adalah tugas seorang ibu’ terkadang membuat Ayah merasa tak percaya diri bahkan malu untuk melakukan tugas tersebut dan akhirnya menyerah untuk memilih “mundur” dari kewajiban tersebut dan menyerahkan sepenuhnya kepada Ibu.
- Gaidha - 06/04/2020
- Saat Buah Hati Suka Membawa Pulang Barang Orang lain - 31/03/2020
- Pentingnya Orang Tua Menjadi Teladan dalam Perilaku Jujur Anak! - 17/03/2020