Memahami Pasangan Poligami
Saya meyakini jika pernikahan yang ideal itu adalah pernikahan monogami. Bukan poligami. Monogami menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki, istri dan suami berada dalam posisi yang setara, sebagai mitra relasi satu sama lainnya.
Dalam monogami, secara kuantitas istri dan suami berada dalam posisi yang seimbang. Sedang poligami, baik secara kuantitas maupun kualitas antara perempuan dan laki-laki tidak seimbang, berat sebelah. Dengan begitu, pernikahan poligami itu menyulitkan untuk masuk pada kualitas sakinah yang di dalamnya tentu saja mengandung mawaddah dan rahmah.
Apapun sikap dan pandangan terhadap poligami, pro maupun kontra, harus diakui bahwa poligami adalah realitas dalam kehidupan sosial kita. Bahkan mungkin, praktik poligami terjadi pada kerabat, sahabat dan orang-orang terdekat yang lain. Sedang Islam adalah agama yang sangat menuntun kita untuk mempunyai insting empati, kepekaan untuk menolong, dalam rangka memberikan perspektif dan meminimalisir kemadharatan. Bukan dalam rangka menghapuskan pernikahan poligami itu sendiri, sekalipun saya pribadi tidak berada dalam posisi pro poligami.
Sikap empati inilah yang sering saya gunakan untuk memberikan perspektif, dan support kepada pasangan poligami. Mulanya kita harus memahami bahwa pernikahan adalah akad persaksian dan perjanjian yang berat antara perempuan dan laki-laki untuk saling setia dan memuliakan dalam suka maupun duka, sepanjang hayat. Dari pemahaman seperti ini, kita akan menjadikan pernikahan sebagai hubungan yang serius, terikat dan implikasinya relasi kemitraan. Sebab perempuan dan laki-laki adalah sama-sama makhluk ciptaan Allah yang mulia dan merdeka. Keduanya oleh Allah berikan potensi: akal pikiran dan hati yang sama untuk digunakan di sepanjang upaya berlomba dalam kebaikan.
Mari kita renungkan. Dengan monogami saja potensi konflik besar, apalagi poligami. Kita berangkat dari logika sederhana ini saja. Sebab keharmonisan rumah tangga juga tidak identik dan tidak bisa disetarakan dengan kepemilikan harta yang banyak. Sehingga konsep adil itu juga tidak bisa disamakan dengan pemberian jumlah nafkah kepada dua istri (atau lebih) dengan jumlah yang sama ataupun dengan jumlah yang proporsional. Dengan begitu, akan timbul pemahaman di antara istri dan suami bahwa, sekalipun telah terjadi poligami, perempuan harus tegas kepada diri dan masa depannya. Apakah akan tetap berada dalam pernikahan poligami ataukah berpisah?
***
Memang akan semakin sulit menyikapi realitas poligami yang semakin marak. Bahkan dalam perebutan wacana dan tafsir, masih banyak ulama, baik klasik maupun modern yang tetap membolehkan poligami. Sekalipun dengan berbagai syarat. Meski begitu realitas di masyarakat kita, perbedaan pendapat soal poligami, justru menjadikan praktik poligami semakin mudah dan longgar.
Karena bagaimanapun, fakta sejarah Islam masa lampau menunjukkan adanya praktik poligami. Akan tetapi memang jarang yang betul-betul menengok mengapa poligami di masa-masa awal dakwah Islam itu dilakukan. Kebutuhan akan banyaknya jumlah kaum muslimin (tentara) untuk menegakkan agama saat itu sungguh tidak seimbang dengan jumlah kaum kafir Quraisy. Sehingga poligami dinilai dibutuhkan untuk memperbanyak jumlah umat Islam. Berbeda dengan hari ini di mana ledakan jumlah penduduk menjadi persoalan yang cukup pelik juga bagi kesejahteraan umat, masyarakat.
Meskipun begitu harapan cerah masih ada. Hati nurani. Saya telah banyak melakukan penelusuran, kepada banyak perempuan, di manapun dan dengan ormas apapun, mereka secara fitrah tidak bersedia dipoligami. Jadi sebetulnya praktik poligami bisa dicegah dari hal yang paling mendasar adalah dari ketegasan para perempuan. Sebab sebelum maupun setelah menikah, perempuan tetap merdeka dan mulia. Sehingga dengan begitu, dalam rangka memahami dan memberikan perspektif kepada pasangan –terutama yang terlanjur praktik poligami– adalah dengan terus memperkuat perspektif dan kemandirian para perempuan (istri). Hanya dengan perspektif dan kemandirian perempuan inilah, praktik poligami bisa diminimalisir dengan signifikan.
Perasaan tidak rela, kecewa, tekanan batin, dijadikan bahan gunjingan dan lain sebagainya dalam hubungan poligami harus segera diambil keputusan: Apakah akan tetap bertahan selamanya walau dalam kepahitan ataukah tegas memutuskan perpisahan sambil membangun kemandirian? Memilih berpisah atau tetap bertahan, perempuan harus terus belajar mandiri, terutama dari segi ekonomi. Dengan bekerja, berjualan, berdikari membangun ketangguhan pribadi. Perempuan jangan takut, mulai belajar mandiri dalam segala aspek kehidupan; secara ekonomi, sosial, politik-negosiasi; termasuk apakah jika setelah berpisah perempuan akan menikah lagi atau tidak. Yang terpenting jalani hidup dengan percaya diri.
Selebihnya mintalah pertolongan Allah swt., karena takdir semua makhluk berada dalam kuasa-Nya. Tidak mungkin takdir Allah tidak mengandung hikmah yang bermanfaat bagi kebaikan hidup kita. Bersedekahlah, membangun kepedulian atas agama-Nya, agar kita dipedulikan oleh-Nya. Bersujudlah. Karena dengan bersujud kita berpasrah diri kepada-Nya. Sambutlah kebaikan dan kebahagiaan hidup yang berada dalam genggaman tangan kita atas penjagaan Allah swt. Wallaahua’lam. []
Kuala Lumpur, Agustus 2019
- Menyempurnakan Tips Langgeng Berumah Tangga ala Gus Baha - 02/06/2021
- Apa Yang Harus Dilakukan Kalau Rumah Tangga Di Ujung Tanduk? - 19/05/2020
- Izin Suami, Izin Istri - 20/01/2020