Nyorog, Tradisi dalam Pernikahan yang Semakin Menakutkan

Ilustrasi: freepik.com

Beberapa minggu yang lalu, tepatnya 26 Januari 2020, saya menghadiri pernikahan  cucu dari kakak perempuan saya di Citra Jaya Kecamatan Binong Kabupaten Subang Jawa Barat.

Secara bahasa, desa Citra kebanyakan penduduknya menggunakan bahasa jawa “enyong”. Yaitu jawa yang mendekati bahasa jawa Cirebonan atau Dermayuan.

Secara budaya, daerah ini juga lebih dekat dengan budaya Cirebon dan Indramayu ketimbang budaya priangan. Di desa ini lebih mashur kesenian seperti tarling, sandiwara dan wayang ketimbang jaipong atau golek. Tapi itu dulu, sekitar tahun 70-an. Waktu itu, bagi orang yang berada atau orang kaya, setiap mengadakan walimatul khitan atau walimatul arusy sering mengundang hiburan tarling atau sandiwara. Dan masyarakat menyambutnya dengan suka cita, berbondong-bondong menonton seni budaya itu. Sekarang budaya itu sudah tidak terlihat lagi.

Berbeda dengan hiburan tarling dan sandiwara yang sudah tidak terlihat lagi,  tradisi nyorog masih dipraktikan dan bahkan dikembangkan. “sekarang tidak hanya keluarga laki-laki yang disorog tapi juga keluarga perempuan” kata  Ibu Isah, warga desa citra, menjelaskan ketika penulis bertanya kepadanya tentang tradisi nyorog ini.

Nyorog adalah tradisi mengantarkan makanan dari keluarga calon pengantin perempuan ke keluarga calon pengantin laki-laki. Bahkan sekarang berkembang ke keluarga pihak perempuan juga. Istilah Nyorog juga kita kenal dalam tradisi Betawi di Jakarta dan Bekasi. Di kedua daerah ini, nyorog lebih berkaitan dengan mengantar makanan kepada orang tua atau orang yang dituakan jelang ramadhan tiba.

Bagaimana sih praktik nyorog  yang berkaitan dengan pernikahan?

Biasanya, pihak calon pengantin perempuan menyiapkan masakan yang terdiri dari nasi, daging, bekakak ayam, telur, kue-kue dan buah-buahan. Banyaknya makanan tergantung kelasnya dan akan diberikan kepada siapa. Ada kelas 1, kelas 1/2 dan kelas ¼ dan seterusnya.

Kelas 1 misalnya, berisi satu ekor bekakak ayam kampung, daging dan seterusnya. Intinya kelas satu yang paling baik dan paling banyak. Biasanya diberikan kepada keluarga utama, besan dan keluarga inti.  Si besan kemudian memberikan uang sekitar Rp. 500 ribu – 1 jt atau disesuaikan dengan banyaknya makanan yang diterimanya.

Waktu saya kecil, saya ingat betul bagaimana tradisi nyorog dipraktikkan.

Calon mempelai berpakaian rapih. Sang calon pengantin perempuan berkebaya dan bersamping lengkap dengan sanggul dan kerudung yang disampirkan di kepalanya. Tentu saja dengan make up yang medok, tebal. Sementara calon mempelai pria berpakaian lebih sederhana, kemeja dan celana kain. Mereka berboncengan menaiki sepeda ontel atau sepeda motor. Tak lupa calon mempelai perempuan membawa dompet besar untuk menyimpan uang hasil pemberian orang yang telah dikirimi makanan itu. Kemudian diiringi dengan sejumlah pasangan muda-mudi lainnya yang biasanya mereka adalah pasangan yang sudah jadian atau baru tahap PDKT atau pendekatan. Mereka membawa makanan yang akan diberikan kepada orang tua atau keluarga dari pihak laki-laki. Kemudian keluarga yang mendapat makanan akan memberikan uang sesuai dengan kebiasaan di wilayah itu. Calon pengantin perempuan mempunyai kesempatan yang baik untuk bersilaturahim dengan keluarga pihak laki-laki dan meminta do’a yang terbaik untuk pernikahannya. 

Sekarang, tradisi itu mulai pudar. Nyorognya masih dijalankan. Tetapi banyak hal yang berubah. Misalnya, calon pengantin seringkali tidak ikut ke rombongan yang mengantarkan makanan itu. Hanya orang yang disuruh yang mengantarkan makanan dan dibekali amplop untuk “bayar” makanan itu.

Tradisi nyorog ini untuk beberapa orang sebagai media silaturahim dan mempererat persaudaraan. Kadang ada saudara laki-laki yang tidak disorog merasa tidak dianggap sebagai saudara. Tapi untuk sebagian orang,   tradisi nyorog ini sangat menakutkan. Kok bisa? Seperti yang disampaikan Ibu Yayah, salah satu warga yang sekarang tinggal di Bekasi “saya mah takut kalau tinggal di kampung. Gak kuat sorogannya” katanya dengan muka serius.

Bisa dipahami pandangan Ibu Yayah ini. Kalau musim nikah tiba, ada 2-3 saudara yang menikah dan semuanya melakukan nyorog, berapa uang yang harus disiapkan? Belum untuk kondangan acara pernikahan warga lainnya.     

Maka tidak aneh, ada beberapa orang berusaha untuk menghapuskan kebiasaan nyorog yang dinilai sebagian masyarakat sudah sangat memberatkan itu. Meskipun sudah ada upaya untuk menghilangkannya, tapi toh tradisi itu tetap ada dan malah makin meluas yaitu dengan melibatkan keluarga pihak perempuan juga. Yaitu yang di sorog tidak hanya pihak keluarga laki-laki tapi juga keluarga perempuannya juga.        

Nyorog sejatinya media silaturahim dan mohon do’a restu calon mempelai kepada keluarga yang tua atau yang dituakan. Agar pernikahannya berjalan lancar dan mendapatkan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Bukan malah menjadi menakutkan. []

Maman Abdurahman
Follow me
4.7 3 votes
Article Rating
Visited 1 times, 1 visit(s) today

Maman Abdurahman

Meneliti dan menulis masalah perkawinan dan keluarga. Sekali-kali menulis cerpen dan puisi.

Maman Abdurahman
Subscribe
Notify of
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x