Wonderful Parents VS Toxic Parents
Kabar kematian anak SMP yang mati bunuh diri dan berita-berita tragis lainnya di satu sisi menjadi catatan merah bagi kita semua sebagai orang tua tentang ada apa sebenarnya dengan kita para orang tua sehingga dunia ini nampak begitu mencekam.
Tidak mudah memang untuk kita menjadi orang tua di zaman sekarang. Benar tidak mudah menjadi ayah atau ibu yang harus mau terus menerus belajar dan melakukan evaluasi diri.
Sesungguhnya setiap anak memiliki hak lahir dalam keluarga untuk dapat hidup bahagia baik dengan orang tua yang mencintai mereka juga dengan sesamanya di lingkungan mereka. Jika ada ketidakyamanan yang mereka alami seharusnya keputusan yang diambil anak adalah pulang kepada ayah ibunya bukan kemudian memutuskan bunuh diri.
Saya jadi teringat akan pembahasan yang beberapa waktu lalu hangat diperbincangkan yaitu tentang toxic parents, orang tua beracun. Kedengarannya memang mengerikan, bahwa orang tua yang harusnya menjadi tempat paling aman, menjadi obat ketentraman malah justru beracun bagi anak-anak mereka.
Dapatkah kita mendeteksi diri kita sebagai orang tua untuk mengetahui apakah kita telah menjadi worderful parents atau justru toxic parents.
Secara singkat, istilah “toxic parents” sebenarnya diberikan kepada orang tua yang menciptakan kondisi yang membuat anak tak berharga, tak memiliki harga diri dan ‘terpaksa’ untuk cinta kepada orang tua mereka.
Mengapa hal ini terjadi?
Bisa jadi para orang tua secara tak sadar menanamkan pandangan pada diri mereka bahwa anak mereka adalah alat atau investasi dari diri mereka. Salah satu ciri awal adalah ketika kita dianugrahi anak, mengapa kita merasa begitu bahagia? harapan apa yang kita tanamkan dalam fikiran kita untuk anak kita?
Alih-alih bahagia mendapatkan buah cinta, namun seringkali karena kita merasa ada ‘objek’ di luar diri kita sebagai orang tua untuk menuangkan apapun yang kita cita-citakan kepada anak kita. Akhirnya secara tak sadar anak dianggap sebagai bagian dari keluarga yang seharusnya menguntungkan orang tua yang telah mengandung dan membesarkannya. Inilah hal yang paling jelas tentang posisi anak bagi para toxic parents adalah bahwa anak bukan manusia independen yang boleh mengambil keputusan sendiri.
Istilah toxic parents sendiri sesungguhnya dipopulerkan oleh Dr. Susan Forward dalam bukunya “Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life” yang diterbitkan pada tahun 2002. Pandangan ini kemudian mendapatkan momentum untuk bersinar ketika akun Instagram Kei Savourie mengunggah tulisan-tulisan mengenai toxic parents di Instagram Story dan kemudian disebarkan melalui akun Facebook Gabriel Gertruida.
Tentu saja bahasan mengenai toxic parents ini menjadi penting apalagi dalam Islam disebutkan bahwa orang tua memiliki tanggungjawab penuh terhadap anaknya, akan jadi apa anak-anak di masa depan semua ada di tangan orang tua. Lalu bagaimana jika orang tua ternyata terdeteksi sebagai toxic parents, maka di masa depan tak elak akan muncul toxic children yang akan sangat membahayakan baik bagi orang tua sendiri, anak dan bahkan juga masyarakat.
Lalu bagaimana kita bisa mendeteksi diri apakah kita termasuk toxic parents? mengapa hal ini menjadi penting? lalu bagaimanakah kita mengarahkan diri kita untuk bisa menjadi wonderful parents agar dunia ini juga menjadi wonderful world buat anak anak.
Sebelum kita melalukan deteksi dini Toxic parents, patut kita contoh apa yang telah dilakukan Nabi Ibrahim kepada anaknya Nabi Ismail. Nabi Ibrahim disebutkan dalam sejarah islam bahwa ia adalah Nabi yang lembut, memiliki sopan santun, ketegasan dan ketaatan kepada Allah. Ialah mungkin sosok yang patut kita contoh untuk menjadi worderful parents. Kesantunan Nabi Ibrahim tergambar dalam Alqur’an ketika ia dengan penuh kasih sayang menyampaikan perintah Allah untuk menyembelih Nabi Ismail.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ia menjawab: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS. Ash-Shaaffaat: 102)
Kesantunan Nabi Ibrahim tergambar melalui dialog dalam Al Qur’an dengan gambaran pilihan “Ya Bunayya”, sebuah panggilan yang sangat halus dan penuh kasih sayang. Padahal bisa saja ia memanggil Ya Ismail, atau Ya Ibni, namun ia lebih memilih Ya Bunayya, panggilan halus dan lembut.
Efek dari panggilan yang yang halus tadi dibalas Nabi Ismail dengan jawaban halus pula dengan penuh penghormatan dan kasih sayang yaitu dengan jawaban “Ya Abati”. Panggilan ini lebih halus ketimbang ia menjawab dengan jawaban Ya Abi.
Inilah contoh komunikasi orang tua dengan anak yang penuh kesantunan. Orang tua mencontohkan cara memanggil yang lembut, dibalas anaknya dengan jawaban yang lembut pula.
Sampai di sini menjadi wonderful parents adalah menjadi pribadi oarng tua yang harus bisa terus menerus belajar, mengevaluasi diri dan berusaha memperbaiki pola pengasuhan dari waktu ke waktu. Belajar itu, tak pernah berhenti. Yang terpenting juga menghargai anak sebagaimana mestinya anak dihargai, dengan menghargai mereka maka orang tuapun pasti akan mendapatkan penghargaan. Itulah yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail, anaknya.
Lalu sikap apa yang biasanya dilakukan Toxic Parents?
1. Selalu Punya Alasan untuk Berbuat Salah
Toxic parents biasanya memiliki kebiasaan bahwa jika ia berbuat salah maka ia akan mencari alasan pembenaran mengapa ia salah dan tidak perlu disalahkan. Sehingga lama kelamaan yang ditanamkannya adalah rasa tidak adil bahwa anak menjadi terdakwa ketika ia salah, tapi ketika orang tua salah maka tak penting mengoreksinya. Hindarailah hal ini.
2. Emosional
Selalu bersikap tenang adalah cara agar kita tidak menjadi toxic parents, karena toxic parents adalah mereka yang selalu emosional.
3. Mengendalikan Pikiran dengan Uang
Orang tua memang memiliki uang dan kekayaan dan ini sering dipakai orang tua sebagai ‘alat’ untuk mengendalikan pikiran anak bahwa tanpa uangnya anak anak tidak berarti.
4. Tidak apresiatif dan beranggapan bahwa apapun yang dilakukan anak tidak benar, tidak berharga.
5. Perfeksionis dan ambisius
Selalu menilai semua hal harus sempurna dan fokus kepada kekurangan anak karena ambisinya sendiri.
6. Selalu memarahi anak
7. Tidak melatih anak membuat keputusan
8. Menginterogasi anak
9. Membagi masalah pribadi
10. Merendahkan rasa percaya diri anak
11. Berfikir bahwa apa yang dilakukan orang tua sekarang harus berbanding di masa depan (alih-alih bahwa biaya dikeluarkan orang tua untuk anak akan berubah menjadi profesi anak dengan gaji berlimpah sehingga di masa depan anak diharapkan bisa memberi kepada orang tua).
12. Menginterogasi Anak.
Demikianlah semoga kita mampu menjadi wonderful parents untuk wonderful child dan wonderful world.
- Namaku Safiye - 13/03/2021
- No Excuse! - 14/04/2020
- Aisyah - 07/04/2020